Gerakan Intelektual Islam

"Elemen terpenting bukan pada otak. Namun, pada apa yang menuntun otak ==>kepribadian, hati, kebaikan, dan ide-ide progresif."

Jumat, 29 Juni 2012

Kajian Isu Pemanasan Global

Isu Lingkungan hidup sebagai isu global kontemporer

 Dalam dinamika studi hubungan internasional terdapat berbagai isu kontemporer yang pada awalnya lebih bersifat kepada hal yang teknis, yang kemudian berkembang menjadi agenda politik yang berimplikasi pada lahirnya pola-pola baru kerjasama internasional, dimana dalam perkembangan hubungan internasional terkini tidak lagi hanya memperhatikan aspek hubungan antara negara saja, yang hanya mencakup aspek politik, ekonomi, budaya serta aspek-aspek klasik lainnya, tetapi juga aspek lain seperti interdependensi ekonomi, hak asasi manusia, keamanan transnasional, organisasi internasional, rezim internasional dan juga masalah lingkungan hidup. Saat ini seiring dengan semakin kompleks dan dinamisnya dimensi hubungan internasional, yang kemudian memaksa bagi setiap aktor dan pihak internasional untuk bekerjasama dalam satu isu di sebuah kawasan yang kemudian menjadikan isu tersebut menjadi perubahan transnasional, dimana kemudian tidak dapat dielakkan terlibatnya aktor atau pihak lain untuk saling bekerjasama, walaupun di kawasan lain dari tempat terjadinya masalah tersebut.

Studi hubungan internasional secara substansial adalah sebuah bidang kajian studi interdisiplin, dimana dalam dinamika perkembangannya melibatkan berbagai disiplin ilmu lain dalam melakukan analisa serta korelasi untuk memahami dan dapat menjelaskan mengenai suatu fenomena dalam lingkup internasional, termasuk di dalamnya dalam kajian isu lingkungan hidup maka akan mencampurkan aspek ilmu pengetahuan alam hayati yang tentunya dibalut dalam nuansa scope internasional, sehingga dapat dilihat dan ditarik keterkaitan serta kompleksitas antara masalah lingkungan global dengan hubungan antar negara.

Aspek lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional pada dekade belakangan ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Isu lingkungan hidup menjadi salah satu kajian yang dapat diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong aktor atau unit internasional lain untuk ikut terlibat dalam penyelesaian dan penanganannya, hal ini dikarenakan masalah lingkungan dianggap bersifat implikatif yang menimbulkan chain reaction atau reaksi berantai terhadap pihak lain, begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah lingkungan hidup hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional.

Pemanasan Global dan Relevansinya dalam Hubungan Internasional
 Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia yang lebih dikenal dengan Stockholm Conference. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin meningkatnya concern masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran banyak kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga terbit buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome merupakan kelompok think thank berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut memaparkan bahwa seiring kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia sumber daya alam di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian diasumsikan menjadi penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara masif, yang kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global.[1]

Konferensi lingkungan hidup PBB yang berlangsung di Stockholm tersebut kemudian menghasilkan sebuah resolusi mengenai pembentukan United Nations Environmental Program (UNEP), dapat dikatakan bahwa UNEP merupakan motor awal pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dalam hubungan kerjasama antar negara, yang kemudian melahirkan gagasan dari pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dengan pertemuan-pertemuan serta pembahasan yang berkesinambungan, dan diangkat secara global dalam forum dan konferensi internasional.

Dalam perkembangannya konferensi-konferensi internasional yang membahas mengenai masalah lingkungan dari tahun ketahun terus diadakan dalam mencari solusi dalam penanggulangan masalah yang dianggap pelik dalam tata lingkungan hidup global saat ini, pertemuan antar negara-negara dalam membahas masalah lingkungan hidup terangkum dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change,), dimana hasil dari salah satu pertemuan UNFCCC yang diadakan yaitu mengenai kesepakatan negara-negara pada tahun 1997 untuk membuat konsensus penanganan lingkungan yang dirangkum dalam suatu protokol yang disebut Protocol Kyoto, dimana protokol ini mengatur mengenai pembatasan kadar emisi karbon suatu negara yang telah meratifikasinya, hingga dalam perkembangan berikutnya pertemuan lingkungan yang melibatkan negara-negara masih terus dilakukan dalam lingkup UNFCCC.

 Kebijakan terhangat yang diangkat dalam masalah lingkungan global adalah mengenai Bali Road Map yang di hasilkan dari pertemuan UNFCCC ke-13 pada tahun 2008 di Bali, Indonesia, yang kemudian berlanjut dalam pertemuan di Coppenhagen, Denmark pada tahun 2009, lalu pertemuan di Cancun, Meksiko pada tahun 2010, dan beberapa pertemuan yang akan digelar pada tahun-tahun berikutnya, dalam pertemuan tersebut esensinya dibahas mengenai kelanjutan dari Protokol Kyoto yang masa berlakunya akan segera habis pada tahun 2012, sehingga oleh banyak pihak dianggap pentingnya sebuah kebijakan baru dalam melanjutkan Protokol Kyoto. Dalam pertemuan tersebut juga muncul gagasan mengenai program sistem kredit karbon yang disebut sebagai program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yaitu suatu pengaturan untuk mengurangi tingkat emisi karbon dengan sistem dimana negara industri maju yang dianggap menjadi penghasil karbon yang telah merusak atmosfer diharuskan membayar secara finansial kepada negara-negara pemilik hutan yang menyerap karbon, dan dana tersebut akan digunakan negara pemilik hutan sebagai dana untuk pelestarian hutan dan penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) atau ilmuwan antar negara yang merupakan besutan PBB di bawah UNFCCC sebagai pihak yang mengusulkan ide program tersebut berpendapat, bahwa dengan dilaksanakannya program REDD maka akan menciptakan suatu keseimbangan karbon yang disebut Carbon Neutral, dan adanya sistem yang berkeadilan antara negara industri maju dan negara berkembang pemilik hutan dalam penanganan masalah lingkungan hidup.

Kemudian dari berbagai pertemuan antar negara yang membahas masalah lingkungan hidup yang dalam perkembangannya semakin menunjukkan betapa tingginya tingkat interdependensi antar negara dalam penanganan isu ini, dimana isu lingkungan hidup menjadi salah satu masalah vital dari kajian kerjasama kontemporer dalam hubungan antar negara saat ini, hubungan kerjasama antar negara dalam isu ini lebih didasarkan pada kepentingan bersama oleh masing-masing pihak atau negara dalam mengatasai serta menanggulangi persoalan lingkungan hidup, yang dampak eksesnya jika terus dibiarkan dapat menimbulkan kerusakan pada lingkungan global, yang tentunya efek buruk dari perubahan lingkungan global ini akan dirasakan dan merugikan semua pihak atau negara. Selain mempengaruhi lingkungan, dampak krusialnya lainnya yang akan turut mengikuti layaknya efek domino adalah berimbasnya kepada kekacauan dalam tatanan ekonomi, sosial, politik global, sehingga kemudian masalah lingkungan hidup ini oleh hampir semua pihak dan negara dianggap sebagai masalah bersama yang perlu kerjasama tingkat tinggi secara multilateral dan multitrack dalam penanganannya, atau dengan kata lain interdependensi yang tinggi oleh setiap negara dalam masalah ini menjadi landasan mengenai kenapa isu ini dibahas dan diangkat dengan begitu intens di berbagai forum dan kajian baik secara formal maupun informal.

Dalam isu lingkungan hidup terdapat beberapa fokus masalah, salah satunya adalah masalah pemanasan global (Global Warming) yang secara komprehensif oleh pendapat para ahli lingkungan mencakup terhadap masalah kelestarian hutan, perubahan iklim, dan fenomena alam seperti El Nino serta La Nina. Dari kajian para ahli lingkungan serta berbagai hasil keputusan dalam konferensi internasional mengenai pemanasan global, khususnya kajian dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), yaitu panel ilmuwan yang dibentuk oleh PBB untuk mengkaji masalah perubahan iklim, yang dalam konferensi persnya atas peluncuran laporan Third Assessment Report membuat sebuah konsensus bahwa fenomena perubahan iklim dan meningkatnya suhu bumi pada beberapa dekade belakangan adalah akibat dari semakin meningkatnya kadar emisi karbondioksida anthropogenik yang dihasilkan dari hasil akhir pembuangan bahan bakar fosil yang kebanyakan dihasilkan oleh industri negara maju, selain faktor peningkatan kadar emisi karbon, fenomena global warming juga sering dikaitkan dengan pemakaian gas CFC (Chloro Fluoro Carbons) yang berlebihan dalam merusak lapisan ozon, serta efek dari rumah kaca yang berimbas pada semakin semakin hangatnya suhu bumi.

Permasalahan lingkungan hidup menjadi sangat kompleks karena menyankut eksploitasi terhadap sumber daya global seperti lautan, suhu bumi dan atmosfir yang semua variabel tersebut berlaku dalam lingkup transnasional sehingga kerusakan di suatu negara akan berdampak dan mengancam pada negara lain pula, selain itu dewasa ini masalah lingkungan hidup bukan lagi menjadi suatu kajian masalah yang hanya melibatkan negara saja sebagai aktor dalam penanganannya, seiring dengan begitu dinamisnya perkembangan dalam ranah hubungan internasional organisasi-organisasi seperti NGO (Non Governmental Organization) dan bahkan individu-individu turut dalam penanganan masalah lingkungan hidup.

Opini dan Fakta Pemanasan Global 

Dalam berbagai laporan dan kajian yang sering diperbincangkan di berbagai forum internasional mengenai masalah lingkungan hidup, khususnya masalah Pemanasan Global, penyebab yang kerap dijadikan tersangka atau penyebab fenomena ini adalah akibat aktivitas manusia, khususnya aktivitas industri yang diasumsikan telah mencapai level ambang batas terhadap kerusakan lingkungan hidup secara masif, sehingga kemudian banyak pihak, baik itu Negara, NGO Lingkungan dan khususnya PBB melakukan langkah-langkah konkrit dalam penanganannya dengan mengadakan berbagai pertemuan yang melibatkan negara-negara, yang di implementasikan dalam Protocol Kyoto to the United Nations Framework Convention on Climate Change atau yang lebih dikenal dengan Protokol Kyoto yang diadakan di Kyoto, Jepang  pada tahun 1997, dimana protokol tersebut mengatur mengenai batas pelepasan kadar emisi karbon industri dari suatu negara dan  negara-negara yang meratifikasinya berkomitmen untuk mengurangi kadar emisi karbon secara kolektif hingga sebesar 8% hingga tahun 2012, dimana sampai pada tahun 2007 sudah 174 negara yang telah meratifikasi protokol kyoto,[2]  kecuali negara Amerika Serikat yang hingga pertemuan UNFCCC di Cancun, Mexico pada tahun 2010 tetap menolak setiap kebijakan yang diambil dalam penanggulangan lingkungan, padahal  Amerika Serikat merupakan negara inti dalam aktivitas industri yang diharapkan menjadi panglima dalam isu ini. Protokol Kyoto mengatur mengenai pembatasan emisi karbon yang bertujuan untuk menghambat kerusakan yang berakibat pada fenomena pemanasan suhu bumi yang kelak akan berefek pada kenaikan permukaan air laut dan perubahan iklim secara global.

Pengeluaran emisi karbon yang dianggap sebagai penyebab utama masalah pemanasan global tidak lain adalah senyawa gas Karbondioksida, namun karbon disini adalah karbon yang dihasilkan dari pembuangan akhir bahan bakar fosil, sejatinya karbondioksida merupakan gas non toksik yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa, sangat penting bagi semua kehidupan di bumi. Semua tumbuh-tumbuhan hijau memerlukan karbondioksida untuk proses fotosintesis. Secara ilmiah dengan meningkatnya karbondioksida maka kecepatan pertumbuhan tanaman juga akan meningkat. Namun oleh para ilmuwan senyawa karbondioksida juga ditengarai menjadi penyebab meningkatnya suhu bumi akibat berkumpulnya konsentrasi karbon yang berlebihan di atmosfer khususnya pada periode 1970-2000 pasca meningkatnya aktivitas industri dan penggunaan bahan bakar fosil secara global.

Selain laporan dari IPCC mengenai penelitian penyebab terjadinya pemanasan global, juga muncul laporan dari sebuah film dokumenter lingkungan besutan Al Gore yang berjudul An Inconvenient Truth pada tahun 2007, yang menghantarkan Al Gore menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian di tahun yang sama, dimana dalam film dokumenter tersebut dipaparkan mengenai peningkatan kadar karbondioksida di atmosfer yang telah berakibat dalam meningkatkan suhu bumi secara global, serta menyebabkan berkurangnya glasier es di kutub yang semakin berkurang akibat pemanasan di kutub, yang berakibat juga pada kenaikan permukaan air laut yang di asumsikan akan naik setinggi 20 kaki (6,09 meter), dimana dengan kenaikan setinggi itu akan dapat mengancam kehidupan bahkan menenggelamkan negara-negara kepulauan di Pasifik dan juga akan menenggelamkan kota-kota besar negara dunia yang kebanyakan berada di pesisir pantai, berkorelasi dengan fakta diatas film ini juga mengungkapkan mengenai populasi beruang kutub yang berada dalam ambang kepunahan, dimana Al Gore beserta ilmuwan dalam pembuatan film tersebut juga berpendapat bahwa aktivitas industri manusialah penyebab semua fenomena ini.

Di tengah berbagai laporan para ilmuwan mengenai penyebab terjadinya pemanasan global dan opini yang telah terbentuk, mengenai tertuduhnya aktivitas manusia sebagai penyebab pemanasan global, dimana negara yang merupakan interpretasi manusia secara kolektif, sehingga dibutuhkan tanggung jawab global dari negara-negara dalam penanggulangannya. Menanggapi isu lingkungan hidup global yang menunjukkan eskalasi yang semakin kompleks, kemudian muncul polemik dan perdebatan di kalangan ilmuwan mengenai perbedaan persepsi penyebab terjadinya pemanasan global, saat ini para ilmuwan terbelah menjadi dua dalam persepsi mengenai penyebab pemanasan global, terdapat ilmuwan pro pemanasan global yang mendukung teori bahwa pemanasan global terjadi akibat aktivitas manusia, dan yang kontra atau menolak mentah-mentah mengenai pemanasan global yang telah diklaim oleh para ilmuwan yang pro, termasuk juga menolak ilmuwan IPCC yang laporan penelitiannnya telah dijadikan menjadi landasan acuan dalam konferensi- konferensi negara-negara dunia dalam menentukan sebuah kebijakan dalam pengurangan kadar emisi karbon dalam penanggulangan pemanasan global.

Kontroversi dan Fakta Terbalik Dalam Pemanasan Global

Pemanasan global (Global Warming) yang keberadaannya pada berbagai forum dan pertemuan tingkat tinggi lingkungan hidup internasional diklaim penyebabnya adalah karena aktivitas industri manusia, klaim atas tertuduhnya aktivitas industri manusia yang diakibatkan oleh peningkatan kadar emisi karbon ini sebelumnya dilaporkan oleh IPCC dalam pertemuan UNFCCC, yang kemudian dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan tata penanggulangan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini, hal itu dapat terlihat dari betapa kompleksnya kebijakan yang diambil oleh negara-negara yang sering juga dikaitkan dengan kepentingan masing-masing negara dalam masalah ini terkait diplomasi lingkungan.

Kontroversi dan perdebatan mengenai penyebab sebenarnya dalam fenomena pemanasan global terjadi hanya sekitar beberapa tahun yang lalu, dimana terdapat perbedaan persepsi dari para ilmuwan dalam menyikapi hal ini, bahkan dari kelompok yang kontra atau menentang ada yang beranggapan bahwa fenomena pemanasan global sebenarnya tidak pernah terjadi, salah satunya ilmuwan yang kontra adalah Steven Milloy, yang memiliki gelar dalam bidang Natural Science dan gelar master dalam Biostatistik dari Universitas John Hopkins, kredibilitas akademik Milloy dalam bidang ini sangat diperhitungkan, dimana dia adalah salah satu juri bagi American Association for The Advancement of Science Awards dan ia pernah diminta oleh kongres Amerika Serikat untuk bersaksi mengenai masalah-masalah lingkungan, Milloy berpendapat bahwa pemanasan global adalah "ibu dari segala ilmu pengetahuan sampah" (Junk Science), dia merujuk kepada fakta historis bahwa perubahan-perubahan suhu bumi terjadi secara alamiah tanpa campur tangan manusia dan secara frontal beranggapan bahwa fenomena pemanasan global tidak pernah ada. Selain itu Milloy juga merujuk kepada Protokol Kyoto yang dianggapnya sebagai suatu lelucon, dimana protokol ini bertujuan untuk mengurangi kadar emisi karbon dunia menjadi 8% pada tahun 2012. Sebagai catatan 8% adalah level emisi pada tahun 1990, jika dipahami lebih lanjut tahun 1990 adalah tahun dimulai revolusi industri modern, dimana aktivitas industri sangat pesat berkembang bahkan di negara dunia ketiga, dan untuk mengembalikan kadar emisi karbon kembali menjadi 8% seperti tahun 1990 jelas bukan hal yang sangat mudah.[3]

Sebuah studi dari Rusia juga mempublikasikan bahwa konsentrasi gas karbon di atmosfer pada tahun 1970 berada pada level sekitar 325 PPMV (Parts Per Million by Volume), dan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai level 375 PPMV, dan bila Protokol Kyoto diikuti, maka protokol tersebut hanya akan merubah 1 atau 2 PPM saja pada tahun 2012, hal ini menunjukkan bahwa protokol tersebut hanyalah sebuah kesia-sian jika tetap diikuti, dan bukan tidak mungkin hal inilah yang menjadi faktor mengapa Amerika Serikat begitu bergigih untuk menolak setiap regulasi mengenai pembatasan kadar emisi karbon.

Steven Milloy hanyalah satu dari sekian banyak ilmuwan yang kontra terhadap masalah ini, banyak ilmuwan kaliber lingkungan lainnya yang turut menentang teori pemanasan global, bahkan ilmuwan yang sebelumnya medukung Al Gore dalam pembuatan film dokumenter An Inconvenient Truth, yaitu  Prof. Mojib Latif yang juga merupakan peneliti utama di IPCC. Latif adalah seorang ilmuwan berdarah Pakistan dari Leibniz Institute of Marine Sciences, Jerman. Pada awalnya dia adalah seorang pendukung utama teori yang mengatakan bahwa emisi gas karbon yang dihasilkan manusia adalah penyebab meningkatnya suhu secara global, dia juga turut serta dalam menciptakan model iklim yang menjadi patokan bagi banyak peneliti di dunia. Pada sebuah pertemuan itu yang sering membahas apa yang disebut Scientific Consensus mengenai Pemanasan Global yang diakibatkan oleh perbuatan manusia, Latif mengakui telah membuat kesalahan, bahwa Bumi ternyata tidak sedang mengalami pemanasan selama hampir satu dekade. Menurut pendapatnya sepertinya bumi akan memasuki masa satu atau dua dekade dimana suhu bumi akan mendingin.[4]

Teori pemanasan global yang diusung ilmuwan pro Al Gore menyebutkan bahwa samudera Atlantik dan Pasifik akan menyerap suhu panas yang terkurung di bumi yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh manusia. Penyerapan ini akan menyebabkan atmosfer dan daratan menjadi panas. Namun, Prof Latif menyatakan dengan jelas bahwa Atlantik utara malah menjadi dingin. Dan mungkin akan terus mendingin hingga 20 tahun yang akan datang. Ini jelas bertentangan dengan pandangannya sebelumnya yang menyatakan bahwa bumi akan memasuki suhu mematikan pada tahun 2100.

Prof. Latif adalah ilmuwan terbaru yang bergabung dalam kelompok ilmuwan yang meragukan adanya pemanasan global yang diakibatkan oleh manusia. Sebelumnya Senator Amerika Serikat James Inhofe dari partai Republik yang merupakan “Godfather” dari penentang teori pemanasan global versi Al Gore, dimana Inhofe telah merilis daftar 400 ilmuwan terkemuka yang menentang teori Al Gore.[5] Ilmuwan-ilmuwan ini bertujuan untuk menyeimbangkan perdebatan dan opini mengenai pemanasan global yang selama ini didominasi oleh ilmuwan pro pemanasan global dimana mereka didukung oleh politisi yang mengambil keuntungan dari isu ini dan juga media liberal yang secara global memberitakan masalah pemanasan global dengan tidak sangat berimbang.

Selain adanya pernyataan yang menyerang dari berbagai ilmuwan penentang teori pemanasan global terhadap argumen ilmuwan pro pemanasan global, film dokumenter Al Gore juga tak luput dari serangan, banyak para ilmuwan yang menganggap film An Inconvenient Truth penuh dengan kebohongan dan sangat jauh dari standar keakademisan dalam suatu penelitian, salah satunya adalah status glacier es Antartika yang dilaporkan semakin menyusut es, dan dengan berdasarkan model komputer yang diciptakan oleh para ilmuwan pro Anthropogenic pemanasan global, Antartika akan lenyap dalam 20-30 tahun mendatang, namun penelitian tersebut berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi, pada tahun 2009 media-media melaporkan (kecuali media di Indonesia)  bahwa terjadi anomali di Antartika, anomali tersebut adalah  es di antartika bertambah luas sekitar 100.000 kilometer persegi setiap dekade dalam 40 tahun terakhir belakangan.[6] Pemberitaan mengenai bertambahnya luas es di Antartika ini mendapat pemberitaan luas dari media di Eropa dan Amerika Serikat, diantaranya oleh Telegraph[7] dan Foxnews[8] yang menurunkan laporan mengenai bertambahnya es di Antartika, begitu juga dengan es di Arktik yang menurut National Snow and Ice Data Center (NSIDC),[9] luas es di Arktik pada bulan Desember 2009 adalah 12,48 juta kilometer persegi. dimana luas es di bulan Desember 2009 ini lebih rendah dari rata-rata luas bulan Desember antara tahun 1970-2000. Namun es Arktik pada Desember 2009 ini ternyata lebih luas 210.000 kilometer persegi dibanding Desember 2006, artinya model komputer yang digunakan oleh para ilmuwan pro Al Gore untuk memprediksi pencairan es tidak akurat, hal ini ditunjukkan dengan luas es di Arktik bisa pulih dibanding tahun 2006, padahal manusia belum melakukan sesuatu yang radikal untuk mengurangi jumlah karbon.

Selain kelemahan fakta dalam status glacier es di kutub, film Al Gore yang juga memaparkan mengenai status populasi beruang kutub yang semakin menyusut akibat berkurangnya es di kutub di anggap sangat jauh dari fakta di lapangan, lembaga internasional Polar Bear International sebagai pihak yang berfungsi dalam konservasi dan penelitian beruang kutub justru menyatakan bahwa populasi beruang kutub telah meningkat dari hanya sekitar 5.000-10.000 ekor pada tahun 1950 hingga sekitar 20.000-25.000 ekor pada tahun 2009, satu-satunya ancaman terhadap populasi beruang kutub adalah aktivitas perburuan manusia, bukan akibat berkurangnya lapisan es,[10] dan laporan oleh National Center for Policy Analysis[11] yang mengutip data WWF yang juga melaporkan mengenai tidak adanya penurunan dalam populasi beruang kutub, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa data penelitian Al Gore dalam filmn yang menghantarkannya meraih Nobel sangat tidak kredibel.

Setali dengan film Al Gore yang pada akhirnya pada beberapa bagian akhirnya direvisi akibat banyaknya kesalahan, kelompok ilmuwan pro pemanasan global IPCC, yang merupakan badan PBB dalam masalah iklim juga turut mendapat sorotan oleh media atas kebohongan penelitian dan publikasi penelitian yang berbanding terbalik dengan fakta di lapangan mengenai pemanasan global, salah satunya adalah mengenai manipulasi data penelitian yang menyatakan bahwa salju di Himalaya akan mencair total pada tahun 2035, dimana ketua IPCC RK Pachauri akhirnya meminta maaf atas kesalahan fatal ini.[12] Setelah skandal yang disebut Himalaya gate tersebut, IPCC kembali ketahuan membuat laporan penelitian palsu yang terbit tahun 2007, yang menyebutkan bahwa 40% hutan Amazon akan lenyap karena pemanasan global, laporan tersebut ternyata hanya berasal dari sebuah pamflet WWF yang dibuat oleh aktivis lingkungan, bukan dari hasil penelitian 3.000 ilmuwan di IPCC, namun laporan aktivis WWF tersebut diplintir oleh IPCC, karena kerusakan hutan tersebut bukan karena pemanasan global, melainkan karena ilegal logging di Brazil[13].

IPCC yang merupakan lembaga bentukan PBB yang seharusnya memiliki kredibilitas yang tinggi dipenuhi dengan skandal dan manipulasi, yang hingga sekarang akibat berbagai skandal memalukan tersebut hampir tidak ada ilmuwan atau peneliti yang berani menggunakan data IPCC sebagai basis penelitian mereka, begitu pula dengan ilmuwan pro pemanasan global lain yang berbagai penelitian mereka atas pemanasan yang dikaitkan terhadap aktivitas manusia tidak menunjukkan korelasi dengan fakta yang terjadi di lapangan, sebelumnya para ilmuwan pro Al Gore memprediksi bahwa musim dingin Desember 2009 akan menjadi musim dingin terhangat sepanjang sejarah.

Namun kenyataan di lapangan malah memberikan hal yang berbanding terbalik dengan prediksi tersebut, yang terjadi pada Desember 2009 adalah musim dingin terdingin dalam sejarah di Amerika dan Eropa,[14] akibat berbagai kesalahan, skandal serta perang opini yang berkelanjutan antara ilmuwan pro dan kontra, semakin menurunkan kredibilitas kelompok ilmuwan pro seperti IPCC.

Menurut David Axelrod, penasehat senior Barack Obama, pemanasan global bukan prioritas utama mereka di tahun 2010, dan bisa jadi kontroversi mengenai pemanasan global  inilah yang menjadi dasar sikap Amerika Serikat dalam penentuan kebijakan yang dianggap sering bertentangan dengan setiap konsensus yang diambil dalam tiap konferensi tingkat tingkat UNFCCC, dan belakangan sebuah survei menunjukkan bahwa hanya 34% warga Amerika yang percaya bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Dari kelompok penentang teori pemanasan global akibat manusia berpendapat bahwa pemanasan global yang terjadi saat ini tidak ada hubungannya dengan kadar emisi karbon berleb ihan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, perihal suhu bumi yang memanas adalah sebuah kejadian siklus alami dari bumi, yang kadang memanas dan kadang mendingin, para ilmuwan ini mengaitkannya dengan Ice Age atau zaman es yang terjadi pada masa lampau, dimana pemanasan bumi yang masif setelah zaman es terjadi secara alami tanpa campur tangan aktivitas manusia pula, selain fakta historis pada era lampau catatan satelit cuaca NOAA mempublikasikan bahwa tahun 1998 adalah tahun dengan suhu terpanas di abad ini[15], yang kemudian setelah itu suhu iklim menurun sesuai dengan siklus alami.

Dalam KTT Coppenhagen, Denmark pada tahun 2009, negara-negara berusaha untuk mencegah suhu bumi naik 2 derajat celcius. Rekomendasi IPCC berpendapat bahwa peningkatan sebesar 2 derajat celcius akan membawa dampak yang berbahaya bagi umat manusia, Namun negara-negara yang tergabung dalam implementasi KTT Kopenhagen lupa bahwa pada abad ke-9 hingga abad ke-13 suhu bumi pernah lebih panas 4 derajat celcius dibanding saat ini, periode pemanasan ini disebut Medieval Warm Period, padahal saat itu belum ada produksi karbon besar-besaran seperti sekarang, yang kelak gas karbon dituduhkan sebagai dalang dalam penaikan suhu bumi. Medieval Warm Period tersebut kemudian berakhir pada tahun 1300 dan bumi mulai mendingin secara drastis, periode dingin ini disebut Little Ice Age dan berlangsung selama 500 tahun, dan pada tahun 1850 suhu bumi kembali naik, yang oleh ilmuwan penentang beranggapan bahwa intinya semua penaikan dan penurun suhu tersebut terjadi dengan sendirinya sesuai dengan siklus bumi.

Pemanasan Global, Urgensitas Yang Perlu Dipertanyakan

Terkait dengan bagaimana peran dan kontribusi negara-negara dalam penanggulangan masalah ligkungan hidup yang terjadi saat ini, sepertinya perlu suatu evaluasi atas urgensitas dari isu lingkungan hidup, mengenai seberapa penting relevansi masalah ini dalam paradigma hubungan internasional, khususnya terhadap arah kebijakan diplomasi lingkungan yang diambil negara-negara dalam menyikapi fenomena pemanasan global. Polemik dan kontroversi yang terjadi saat ini perihal perbedaan persepsi dari ilmuwan dalam penyebab terjadinya pemanasan global pada beberapa tahun terakhir, telah memicu pergeseran opini publik dalam menyikapi masalah pemanasan global, yang seharusnya oleh negara-negara juga direspon secara dinamis.

Konferensi tingkat tinggi UNFCCC terakhir yang diadakan di Cancun, Mexico pada tahun 2010 lalu, pada akhirnya tidak menemukan suatu titik temu dalam pembicaraan penanggulangan masalah lingkungan hidup global, dimana Amerika Serikat tetap bersikeras menolak setiap upaya pengurangan kadar emisi karbon negaranya, yang bisa jadi faktor yang membuat Amerika Serikat tetap bersikukuh adalah mengenai kontroversi yang terjadi pada fenomena pemanasan global itu sendiri, namun di satu sisi Amerika Serikat berusaha mengambilkan keuntungan dari keadaan ini dengan memanfaatkan momentum industri yang sekarang berorientasi pada Green Product atau lazim disebut dengan produk ramah lingkungan yang sering ditemui dalam berbagai label produk saat ini. Dan bagi negara berkembang khususnya negara pemilik hutan, tentunya memiliki keuntungan yang besar dari isu lingkungan hidup saat ini, khususnya dari program REDD yang akan memberi Double Advantages, yaitu bantuin dana dari negara penghasil gas karbon secara finansial dan juga pemeliharaan lingkungan khususnya hutan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan keuntungan dari program REDD.

Namun kembali kepada substansi dari permasalahan pemanasan global itu sendiri, yang dipenuhi oleh kontroversi dan kompleksitasnya secara fundamental, terlepas dari kepentingan berbagai pihak dalam isu ini, bahwa perlu sebuah tinjauan ulang terhadap isu lingkungan hidup global dalam paradigma hubungan internasional, agar arah orientasi politik suatu negara tetap berpijak kepada kepentingan dan implikasi kebijakan politik luar negeri yang terarah.

Ada sejumlah ilmuwan yang kontra dengan isu pemanasan global. Bila ditelisik lebih jauh, sesungguhnya ada bisnis trilyunan dollar di balik isu pemanasan global ini.  Seiring dengan gencarnya promosi global warming yang dilakukan aktivis lingkungan hidup, di antaranya yang terdepan adalah mantan wapres Al Gore, histeria global warming pun melanda dunia. Banyak pihak yang tergerak (atau dipaksa oleh peraturan suatu negara) untuk ikut berpartisipasi dalam program melawan ‘perubahan iklim’. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, ‘dipaksa’ berhutang untuk ikut serta dalam program ini. 

Hal ini dimanfaatkan para pedagang karbon dunia, dan diprediksi akan menghasilkan uang trilyunan dollar. Orang-orang tenar dunia seperti kelompok musik Rolling Stones, banyak yang menunjukkan kepedulian pada lingkungan dengan cara membeli carbon credit. Perusahaan penerbangan di Inggris memberikan fasilitas penghitungan berapa banyak karbon yang terbuang selama seorang penumpang melakukan perjalanan dengan pesawat, dan si penumpang yang peduli lingkungan akan membeli carbon credit setara dengan karbon yang sudah ‘dibuangnya’. Perusahaan-perusahaan besar yang ingin menjaga citranya sebagai perusahaan ramah lingkungan, juga melakukan aksi pembelian carbon credit, misalnya, Bank HSBC mengalokasikan 7 juta dolar AS dalam pasar karbon.
Menurut prediksi Barclays Capital, salah satu perusahaan investasi terbesar di Inggris, perdagangan karbon bisa menjadi perdagangan terbesar di dunia. Tahun 2007, Barclays sudah melakukan transaksi 30 milyar dollar AS dan dalam sepuluh tahun kemudian mereka menetapkan target 1 triliun dollar AS. [catatan: Barclays dimiliki oleh Rothschild. Masih ingat Rothschild? Baca: Konspirasi Dollar, The Fed, Israel)
Mark Fulton, Kepala Strategic Planning and Climate Change Strategist Deutsche Bank  mengatakan, “Percaya atau tidak, pasar-pasar investasi telah diciptakan dan investasi ini akan tumbuh secara signifikan sampai 20-30 tahun yang akan datang.” Fulton memprediksi hingga tahun 2013 akan terjadi transaksi sebesar 60 milyar euro di Pasar Karbon Eropa. Di sejumlah negara, perdagangan karbon bahkan sudah diatur seperti halnya perdagangan saham.
Al Gore, mantan wakil presidan AS era Clinton, yang kini beralih profesi menjadi aktivis perlindungan iklim, ternyata juga mengais dollar dari bisnis karbon.  Bulan Februari 2008, Al Gore meraih Penghargaan Dan David Foundation dari Israael atas jasanya di bidang lingkungan hidup dan hadiah 1 juta dollar. Menurut Fast Company Magazine, saat Gore meninggalkan jabatan sebagai wapres tahun 2001, kekayaannya hanya 1 juta dollar, dan tahun 2007 dia menyimpan lebih 100 juta dolar. Dari mana ia mendapatkan uang tersebut? Tak lain, bisnis karbon.
Para pelaku bisnis karbon mengklaim bahwa bisnis ini bertujuan untuk menyelamatkan dunia. Namun, pada dasarnya bisnis ini sangat sedikit memberi pengaruh pada pengurangan emisi karbon global. Hal ini karena perusahaan yang boros karbon hanya perlu membeli carbon credit. Carbon credit ini bisa didapat dari proyek-proyek lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Misalnya, sebuah hutan di Aceh, bisa diklaim sebagai proyek penyelamatan lingkungan. Bila proyek itu divalidasi oleh tim khusus yang dibentuk perusahaan perdagangan karbon, maka pemda Aceh bisa menjual carbon credit (dengan harga yang dinegosiasikan perusahaan karbon tersebut). Perusahaan tersebut akan menjual carbon credit dari pemda Aceh ke pasar karbon internasional.
Memang, di satu sisi, pemda Aceh akan meraup keuntungan. Namun yang lebih besar lagi mendapat untung tentu saja para broker dan bisnismen karbon internasional. Dan yang terpenting, bila isu pemanasan global memang benar, praktek seperti tak ubahnya bagai ‘penebusan dosa’. Praktek pembuangan gas rumah kaca tetap dilakukan oleh industri di negara-negara maju, dan mereka menebus dosa dengan membiayai proyek-proyek ramah lingkungan di negara-negara berkembang. Analogi lainnya, Indonesia ditekan untuk jangan menebang hutan karena akan semakin membahayakan iklim dunia, padahal sumber bahaya itu masih terus dihasilkan oleh pabrik-pabrik di Barat.
Kesimpulan yang bisa diambil dari semua uraian di atas adalah: perdagangan karbon adalah lahan bisnis yang bergelimang uang dalam jumlah yang sangat besar. Dan tahukah Anda, siapa pendukung legislasi Proyek Dagang Karbon ini di Kongres AS?
Tak lain, Joseph Lieberman, senator Yahudi pendukung Israel. Lieberman (bersama Senator Warner dan Boxer) merupakan sponsor UU “Keamanan Iklim” yang menetapkan sistem rumit perdagangan karbon.
oleh : Abdi Sapta Gelora Aritonang &
Dina Y. Sulaeman

Referensi :
[1] Clube of Rome, The Limits to Growth, 1972
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto
[3] http://newscientist.com
[4] http://www.newscientist.com/article/dn17742-worlds-climate-could-cool-first-warm-later.html
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_scientists_opposing_the_mainstream_scientific_assessment_of_global_warming 
[6] http://www.newscientist.com/article/dn16988-why-antarctic-ice-is-growing-despite-global-warming.html
[7] http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/antarctica/5200229/Antarctic-ice-cover-increasing-due-to-hole-in-ozone-layer.html
[8] http://www.foxnews.com/story/0,2933,517035,00.html
[9] http://www.nsidc.org/arcticseaicenews/
[10] http://www.polarbearsinternational.org/ask-the-experts/population/
[11] http://www.ncpa.org/pub/ba551/
[12] http://www.ipcc.ch/news_and_events/news_and_events.htm
[13] http://www.telegraph.co.uk/comment/columnists/christopherbooker/7113582/Amazongate-new-evidence-of-the-IPCCs-failures.html
[14] http://www.telegraph.co.uk/topics/weather/6921281/Britain-facing-one-of-the-coldest-winters-in-100-years-experts-predict.html
[15] http://www.publicaffairs.noaa.gov/releases99/jan99/noaa99-1.html

Jumat, 01 Juni 2012

Enam Langkah dalam Ilmu-Ilmu Humaniora

Mengurai enam langkah dalam Ilmu Humaniora. Bagaimana menjelaskan berbagai fenomena seperti turunnya angka kesuburan, pengangguran, atau masalah-masalah psikis? Untuk menjawab pertanyaan ini Jean-Michel Berthelot telah mengemukakan enam langkah diatas sebagai “skema cara pemahaman secara mudah” bagi ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Dalam realitas penelitian cara analisis ini saling mempengaruhi.
Langkah kausal menjelaskan sebuah fenomena (sindrom depresi, peningkatan angka perceraian dan sebagainya) dengan mengaitkannya dengan faktor lain. Langkah ini dengan meneliti berbagai korelasi antar variable untuk memisahkan faktor-faktor penjelas atau eksplikatifnya. Ini adalah suatu contoh dari cara yang dipergunakan Emile Durkheim dalam analisisnya tentang bunuh diri dengan variable-variabel lain seperti keanggotaan religious atau situasi kekeluargaan.
Langkah fungsional mempertanyakan tentang peran fenomena yang dikaji dalam sebuah sistem. Misalnya   apa fungsi sebuah ritus ditengah kelompoknya? Bagi antropolog Bronislaw Malinowski ritus-ritus keagamaan ini memiliki fungsi integrasi.
“Langkah struktural yang berasal dari linguistik pernah dipergunakan dalam antropologi Claude Levi-Strauss. Langkah ini bertujuan untuk mengetengahkan struktur-struktur ekonomi dan hubungan sosial secara mendalam.
Langkah penafsiran terutama diterapkan untuk input-input simbolik seperti suatu pidato atau pembicaraan impian atau sebuah arsitektur. Ini berkaitan dengan penjelasan tentang makna implisit yang bisa melengkapi sebuah fenomena. Seperti inilah yang dilakukan oleh S. Freud ketika menganalisis tindakan-tindakan yang luput dari pengamatan mislanya didalamnya ada mimpi yang dianggapnya sebagai pengungkap dorongan nirsadar dan terkekang.
Langkah tindakan menyatukan sekian banyak pendekatan yang secara bersama-sama menyadari suatu fenomena dengan mengacu pada tindakan agen yang dimaksud. Langkah ini sangat sering terjadi dalam sejarah dan ilmu-ilmu politik yang bisa menjelaskan suatu peristiwa dengan menganggap sebabnya pada keputusan tokoh-tokoh strategisnya (mislanya Napoleon dengan blockade Inggris, Lenin dengan komunisme peperangan).
Langkah dialektik berupa menganalisis sebuah fenomena sebagaimana dikembangkan dalam dinamikanya yang berubah karena kekuatan-kekuatan yang kontradiktif. Seperti inilah Jean Piaget menejelaskan perkembangan intelegensia sebagai sebuah logika ganda yang menkonfrontasikan skema-skema mental dengan pemaksaan realitas.

Sumber:
J-M. Berthelot, Intelegensia Sosial, Sosiologi, Philippe Cabin dan Jean Francois Dortier.