Pasca siaran langsung Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara
Komisi III DPR dengan jajaran petinggi Kepolisian RI, sebagian masyarakat
mempercayai penuh keterangan Kapolri beserta jajarannya. Mereka percaya pada
pernyataan Kapolri bingung dengan pernyataan versi Bibit dan Chandra. Mereka
melihat dua sisi yang sangat kontras pasca 3 hari sebelumnya (3 Nov 2009)
tercengang menyaksikan/mendengarkan pemutaran rekaman isi rekaman penyadapan
KPK oleh Mahkamah Konstitusi. Rekaman percakapan antara Anggodo dengan sejumlah
petinggi penegak hukum membuat rakyat malu sekaligus marah atas dagelan
penegakan hukum yang bisa dengan mudah dibeli dengan uang.
Oleh : ech-wan, nusantaraku (6 November 2009)
Fakta-Fakta Keganjilan RDP Komisi III DPR & Polri
tentang KPK
Pasca siaran langsung RPD Komisi III DPR dengan Polri,
banyak orang mempercayai sepenuhnya pernyataan Kapolri beserta jajarannya.
Dalam kesempatan ini, saya mengajak masyarakat kritis terhadap suatu pernyataan
lalu dibandingkan dengan fakta-fakta maupun pernyataan pembanding lain. Dalam
tulisan ini, saya akan membandingkan pernyataan kapolri pada RPD kemarin dengan
pernyataan polri sebelumnya atau dari fakta-fakta hukum lainnya.
1. Kapolri Jend Bambang Hendarso Danuri (BHD) tidak
konsisten
Diawal-awal penjelasannya, Kapolri dengan begitu yakin
mengatakan pimpinan KPK melakukan kesalahan tidak menetapkan Putranefo sebagai
tersangka. BHD mempertanyakan mengapa penyidik KPK tidak menjadikan Putranefo
sebagai tersangka dan mencekalnya bersama Anggoro pada Agustus 2008. Dengan
begitu yakin, Kapolri BHD mengatakan bahwa setelah sekian lama, kasus ini baru
dilanjutkan lagi oleh KPK pada September 2009.
“Mengapa Putranefo tidak dicekal pada saat itu (Agustus
2008, red) dan baru dijadikan tersangka dan dicekal pada September 2009″.
“Mengapa begitu lama kasus ini tidak dilanjutkan dan mengapa
Putranefo baru dicekal pada September 2009″
Pernyataan Kapolri BHD diawal RPD Komisi III DPR, 5 Nov 2009
(Detiknews)
Fakta:
Sejam lebih Kapolri memberi keterangan tidak benar alias
bohong dan membuat masyarakat mendapat informasi tidak benar. Pernyataan yang
begitu meyakinkankan itu akhirnya diralat kembali setelah mendapat bisikan
Wakapolri Komjen Makbul Padmanegara di tengah-tengah Kapolri menjawab sejumlah
pertanyaan DPR.
“Kami klarifikasi pencekalan Putronefo 22 Agustus 2008,
(bukan baru September 2009 seperti saya tuduhkan sebelumnya, red)” ujar Kapolri
BHD, 5 Nov 2009 (detiknews)
Fakta kedua bahwa pernyataan Kapolri telah menisbikan Surat
cegah KPK R-3164/01/VIII/2008 yang dikirim ke Dirjen Imigrasi Depkum HAM
tanggal 22 Agustus 2008 yang mencegah Anggoro Widjaja bersama 3 pimpinan PT
Masaro yang lain yakni Direktur Ir Putronefo A Prayugo, Preskom Anggono
Widjojo, dan Direktur Keuangan David Angkawijaya. (Antara)
Selama lebih sejam, Kapolri telah menyampaikan pernyataan
yang tidak benar, sebelum mendapat pertanyaan dari anggota DPR!
2. Eks KaBareskrim Polri Susno Duadji (SD) tidak konsisten
Pada Rapat Kerja Komisi III DPR-Kapolri, SD membantah
menerima uang sebesar Rp 10 miliar. SD juga mengatakan dia sudah mendatangi
kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak dua kali untuk diperiksa
terkait dugaan penerimaan uang itu. (Detiknews dan yahoonews)
Fakta:
Sejak kapan SD datang ke KPK untuk diperiksa? SD pernah dua
kali ke KPK atas inisiatif sendiri, bukan atas permintaan KPK untuk memeriksa
dirinya. Jels SD telah mengeluarkan pernyataan tidak benar. Pertama kali SD
menyambangi KPK pada 15 Juli 2009 hanya untuk klarifikasi sekaligus Susno
didepan seluruh pimpinan KPK mengatakan tidak ada suap di tubuh KPK (Kompas).
Sedangkan kunjungan kedua dilakukan dalam rangka memperkuat
kembali hubungan antara polisi dan KPK pada 2 Oktober 2009 (Kompas).
Inkonsistensi pernyataan ini begitu jelas, begitu juga SD yang menemui Anggoro,
tersangka buronan KPK di Singapura. Pantaskah pernyataan inkonsistensi ini
disebut sebagai fakta kebenaran?
3. Kapolri BHD Kembali Mengemukan Aliran Uang dari Anggodo
Seperti pernyataan Kapolri sebelumnya bahwa Anggodo telah menyerahkan uang sebanyak
Rp5,15 miliar kepada Ari Muladi yang diberikan dalam tiga tahap agar pencekalan
terhadap Anggoro Widjojo Cs dicabut oleh KPK. Yakni, pertama di Hotel Peninsula
pada 11 Agustus sebesar Rp3,75 miliar, Rp400 juta pada 13 November, dan Rp1
miliar pada 13 Februari. Dari Ari Muliadi, uang tersebut lalu diserahkan kepada
salah satu pimpinan KPK (merujuk Bibit SR) di Hotel Bellagio Residence (JPNN). Pada RPD Komisi III DPR, Kapolri BHD
merinci dana tersebut bahwa DS menerima
Rp 1,5 miliar di Bellagio, Jakarta, Mr X
yang menerima Rp 250 juta, CH menerima Rp 1 miliar, dan seorang penyidik Rp 400
juta di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. (kompas)
Fakta :
Tuduhan sebelumnya yang merujuk pada Bibit tidak tepat
sasarannya. Karena selama periode 11-18
Agustus, Bibit dia justru berada di Peru atas undangan Pemerintahan Peru.
(JPNN)
Tuduhan dugaan pimpinan KPK menerima aliran dana dari
Anggodo via Ari Muladi semakin jauh dari realitas setelah Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan tidak menemukan aliran dana dari
pengacara Direktur PT Masaro Radiocom Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK Bibit
Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. (Media Indonesia dan Detiknews)
Kepala PPATK mengatakan bahwa aliran dana terlacak dari
Anggoro ke adiknya Anggodo Wijaya kemudian berhenti sampai ke Ary Muladi saja.
Berdasarkan laporan PPATK tersebut, dana tidak mengalir pada pimpinan KPK. Dana
mungkin saja mengalir
4. Kapolri BHD Kembali Mempertanyakan Prosedural KPK.
Kapolri BHD masih mempertanyakan dua penerbitan dan
pencabutan cekal, yakni atas nama Anggoro dan surat cekal Joko Chandra yang
dilakukan hanya dilakukan oleh dua pimpinan KPK (Bibit SR dan Chandra MH).
Sementara Kapolri masih berpendirian bahwa mekanisme yang berlaku di KPK adalah
keputusan bersifat kolektif. (Republika)
Fakta:
SOP yang berlaku di KPK memang memperbolehkan surat
keputusan ditanda-tangani oleh satu,
beberapa atau seluruh pimpinan KPK. Hal ini telah terjadi para era KPK 2003-2007.
Bila sebuah putusan dari sekian ratusan keputusan harus ditandatangani oleh
seluruh pimpinan, maka hal ini akan memperlambat kinerja KPK, karena tidak
semua pimpinan KPK selalu berada di kantor KPK. Hal ini pun diungkapkan oleh
Wakil Ketua KPK 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas, meminta kepada polisi
agar dirinya ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan karena pernah melakukan
keputusan tidak kolektif. (kompas).
Jika Polri masih mempermasalahkan penerbitan/pencabutan
cekal karena diterbitkan tanpa keputusan kolektif, maka Polri telah
diskriminatif karena tidak menahan mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana H! Jika
Polri masih mempermasalahkan wewenang penerbitan cekal tersebut, maka adalah
fair dan adil jika Polri pada saat sama menangani kasus pelanggaran pidana dana
kampanye, anggaran lumpur lapindo, dan aliran dana non-budgeter DKP tahun 2004.
Jika tidak melakukan usaha seperti itu, apakah benar Polri telah bekerja
profesional? Atau sebaliknya?
5. Kapolri BHD Mendukung Bahwa Anggoro Widjaya Tidak Layak
Dicekal dan Jadi Tersangka
Kapolri BHD mendukung Anggoro dengan mengatakan bahwa
Anggoro Widjaja tidak terlibat dalam kasus apapun. BHD beralibi bahwa Anggoro
hanyalah menjabat sebagai Komisaris PT Masaro, sehingga tidak layak dicekal.
Fakta:
Penetapan Anggoro Widjaja sebagai tersangka oleh KPK setelah
ada putusan hukum tetap pada Yusuf Erwin
Faishal. Faisal divonis atas dakwaan menerima suap Rp 775 juta atas kasus
pengalihan hutan lindung Tanjung Api-Api dan dalam periode yang sama terlibat dalam
suap Sistem Komunikasi Radio Terpadu
(SKRT) Departemen Kehutanan. Yusuf menerima uang sebesar Rp 125 juta dan 220
ribu Dolar Singapura dari rekanan yakni PT Masaro Radiokom yang diwakili
Anggoro Wijaya dan David Angka Wijaya.
Berdasarkan penyelidikan dan penyidikan KPK, maka
unsur-unsur pelaku (kontrakor PT Masaro), bukti (rekaman, pengakuan penerima,
uang), korban (proyek negara), dan laporan (orang yang disuap, masyarakat atau
korban). Namun selama ini, Kapolri maupun Kabareskrim beserta jajarannya selalu
menutupi fakta hukum ini. Mereka berusaha mengiring opini bahwa KPK telah
melakukan tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan menetapkan
tersangka.(kompas)
Kondiserasi-Kondiserasi
Dalam tulisan “Fakta-Fakta Kemunafikan Polri dalam
Mengasuskan Bibit dan Chandra” saya menyatakan bahwa bila pasal 21 Ayat (5) UU
30 Tahun 2002 tentang KPK harus dijalankan dalam semua aspek, maka Bibit dan
Chandra salah mematuhi isi UU tersebut. Selain mereka berdua, para pimpinan KPK
2003-2007 juga melakukan hal yang serupa, sehingga mantan Wakil Ketua KPK
2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas, meminta kepada polisi agar dirinya
ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan (kompas).
Ada beberapa konsiderasi/pertimbangan mengapa saya lebih
mendukung perjuangan KPK dibanding Kepolisian dan Kejaksaan yakni :
Perbandingan Hasil Audit BPK atas Laporan Keuangan 2008
Berdasarkan audit BPK per April 2009 atas laporan KPK (530
kB), Kepolisan RI (1.2 MB), Kejaksaan Agung RI (1.1 MB), maka laporan Keuangan
KPK berada diurutan terbaik (opini Wajar Tanpa Pengeculiaan atau WTP),
sedangkan dua instansi lain yakni Kepolisian dan Kejaksaan berada jauh dari
harapan yakni mendapat opini “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP).
TMP dari hasil audit BPK tahun 2009 ini menunjukkan bahwa
Kejaksaan dan Polri dalam menjalankan tugasnya (menggunakan anggaran APBN)
tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, lemahnya Sistem Pengendalian
Intern (SPI) dalam penyusunan laporan keuangan, pengelolaan aset,
persediaan,barang bukti dan penerimaan hibah serta adanya pembatasan lingkup
pemeriksaan. Hal-hal tersebut menyebabkan laporan keuangan Kejaksaan dan Polri
jauh dari kewajaran laporan.
Fakta laporan TII (2008, 2009) dan Amnesti Internasional
(2009) yang masing-masing menyatakan Polri merupakan lembaga publik terkorup
2008 dan terus melanggar HAM dalam menjalankan tugasnya serta Kejaksaan sebagai
lembaga publik terkorup nomor 2 pada tahun 2009.
Meski saya lebih cenderung mendukung KPK, bukan pula saya
mendukung mati-matian, karena pada faktanya KPK selama berdiri sampai saat ini
masih tampak melakukan tebang pilih. Sebut saja kasus aliran dana non-budgeter
DKP tahun 2004 yang terhenti sampai pada mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri.
Apalagi sampai saat ini, KPK masih belum berhasil mengusut tuntas kerugian
negara dalam kasus BLBI (Kronologi BLBI dan 4X Indonesia Dirampok!).
Dukungan saya kepada KPK, bukan berarti saya tidak mendukung
Kepolisian. Secara institusi, saya tetap agar Polri maupun Kejaksaan tetap
melakukan reformasi birokrasi dan pembenahan sumber daya. Karena bagaimanapun,
lembaga Kepolisian dan Kejaksaan merupakan pilar penting dalam negara
kesatuaran Republik Indonesia. Yang harus kita lawan bukan kepolisan, namun
aparat kepolisian (termasuk petinggi) yang arogan, yang berusaha mengkriminalkan
orang lain dengan dalil-dalil yang berubah secepat kilat. Kepolisian yang
arogan seolah menegakkan kebenaran, namun disisi lain berusaha menutup mata
atas kasus-kasus besar (dengan men-SP3 kasus).
Referensi :
Audit BPK atas Laporan Keuangan KPK Tahun Angggaran 2008
Audit BPK atas Laporan Keuangan Polri Tahun Anggaran 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar