Gerakan Intelektual Islam

"Elemen terpenting bukan pada otak. Namun, pada apa yang menuntun otak ==>kepribadian, hati, kebaikan, dan ide-ide progresif."

Sabtu, 18 Februari 2012

Identitas Mahasiswa Dan Penjajahan Modern.


Mahasiswa yang sekarang menempuh pendidikan di perguruan tinggi rata-rata adalah mereka yang lahir di awal 1990-an atau mereka yang tak merasakan guncangan politik. Inilah “akhir sejarah” kata Francis Fukuyama pada 1980-an.
Mahasiswa abad XXI ini kemungkinan besar tidak akan lagi memikirkan atau memperdebatkan paham-paham politik apalagi membelanya habis-habisan. Akhir sejarah ditandai dengan kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas yang berlaku di seantero dunia termasuk di Timur Tengah yang sedang menuju ke arah akhir sejarah.

Akhir sejarah juga berarti absennya klaim ideologis yang mencoba menawarkan bentuk masyarakat yang lebih unggul (Goenawan Mohamad, 2008: 137). Kecuali dari pergerakan aktivis Islam, yang terdengar sayup-sayup.
Tapi, tidak seperti yang dirasakan Fukuyama sebagai “saat yang sedih”, mahasiswa abad XXI adalah mahasiswa yang bahagia, tampaknya. Mereka tak merasa sedih. Musik terus menghibur mereka, tanpa takut akan dicap secara politis mengikuti musik ngak-ngik-ngok atau apa pun. Mereka tak takut untuk memanjangkan rambut, malah mereka bisa pergi ke salon merawat diri.
Tak perlu ada protes, tuntutan, atau pemogokan kuliah. Paling banter, ya sekadar menulis “status” di media sosial semacam Facebook atau Twitter untuk mengutarakan pendapat, protes singkat atau kesedihan empatik. Tak ada perlunya menyalahkan struktur sosial-politik, etos dan etika politik, atau pun sekadar menjelek-jelekkan dan menggoblokkan pejabat.
Mungkin, lebih baik membuat proposal “ilmiah” dengan imbalan jutaan rupiah dari pada membuat tulisan yang politis-ideologis. Lagi pula juga tak lantang terdengar pemikiran tentang agenda politik ilmu pengetahuan di dunia akademik! Untuk apa peduli dengan politik?
Mahasiswa dengan sederet titel sosial mulai dari agent of change, agent of controlsocial. Bahkan, menurut sebagian besar masyarakat menyebut mahasiswa adalah orang yang serba bisa, serba tahu berbagai persoalan yang muncasyarakat. Hal ini menjadikan mahasiswa sebagai kaum elit dan terhormat dibanding dengan kaum muda lainnya.

Namun, sederet titel dan penghargaan terhadap mahasiswa teryata tidak 

semuanya berbuah manis serta sesuai dengan harapan. Maraknya pemberitaan di media massa baik melalui media cetak maupun elektronik menunjukkan betapa ironisnya prilaku mahasiswa akhir-akhir ini. Idealisme mahasiswa seringkali luntur ketika harus berhadapan dengan realitas yang ada, termasuk dalam hal korupsi. Begitu banyak mahasiswa yang berdemo dengan mengecam dan memaki para koruptor dengan suara yang berapi-api. Seakan-akan mereka menjadi seorang algojo yang siap mengeksekusi para koruptor yang kenyang dengan uang.


Namun praktik korupsi di dunia mahasiswa sendiri sudah tidak bisa dimungkiri. Mulai dari hal kecil seperti menyontek, titip absen hingga penggelapan uang mahasiswa baru. Menyontek dan titip absen merupakan hal yang fundamental dari praktik korupsi karena pada intinya korupsi adalah bohong dan merugikan orang lain. Dengan menyontek atau titip absen berarti kita telah berbohong kepada dosen, teman, dan merugikan orang lain. 


Ketika musim penerimaan mahasiswa baru, dengan dalih mengadakan Malam Keakraban atau sejenisnya, mahasiswa baru ditarik iuran untuk membiayai acara tersebut. Iuran yang terkumpul justru dimanfaatkan oleh mahasiswa senior. 
Kasus-kasus korupsi di kalangan mahasiswa merupakan bukti bahwa status mahasiswa sebagai agent of change mulai luntur. Oleh karena itu, marilah kita sebagai mahasiswa selalu menjaga idealisme dan konsisten terhadap perlawanan terhadap ketidakadilan. Perlawanan itu harus kita mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari lingkungan kampus, mahasiswa, dosen dan karyawan.


Mahasiswa merupakan generasi bangsa yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi dimana budaya ilmiah selalu menjadi alternatif dalam pemecahan masalah. Menurut berbagai sumber, mahasiswa dibagi beberapa tipe yang mewakili kepribadian manusia. 


Mahasiswa bisa dibagi kedalam 4 tipe :
Tipe pertama, mahasiswa Akademis (mahasiswa yang berorientasi pada akademis). 
Tipe kedua, mahasiswa Romantis (mahasiswa yang selalu tampil nyentrik demi menggaet lawan jenis). 
Tipe ketiga, Hedonis (mahasiswa yang suka senag-senang atau hedon). 
Tipe keempat, mahasiswa Organisatoris (mahasiswa yang selalu sibuk dengan dunia organisasi ).
Nah, dari tipe-tipe tersebut, kamu termasuk kategori yang mana?
Sejarah juga mencatat bahwa mahasiswa mempunyai peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Mahasiswa membawa perubahan banyak terhadap bangsa ini.


Runtuhnya rezim Sukarno yang totaliter serta mengagungkan dirinya sebagai presiden seumur hidup tidak lain karena idealisme mahasiswa. Sama halnya pada rezim Suharto yang otoriter juga runtuh oleh gerakan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan generasi penting dalam suatu negara. Kalau pemudanya kuat maka negara akan kuat juga.


Di era reformasi saat ini (mungkin lebih tepatnya pasca reformasi), sudah sepatutnya dan selayaknya mahasiswa mempertahankan idealismenya. Ciri khas mahasiswa seharusnya adalah idealis rasionalis, karena setiap aktivitas dan gerakan mahasiswa selalu dilandasi oleh kekuatan moral ‘moral force‘, pemikiran yang matang, dan tidak berlandaskan kepentingan.
Akan tetapi, citra mahasiswa sekarang mulai tergeser akibat prilakunya sendiri. Masyarakat merasa bahwa mahasiswa adalah benalu yang sering membuat susah. Sebagai contoh, seringnya demo mahasiswa yang membuat macet jalan umum, dan ujung-ujungnya berakhir anarkis, mahasiswa tak jauh beda dengan preman pasaryang membuat gaduh dan menyengsarakan banyak orang.


Sedikit-sedikit kekerasan, sedikit-sedikit maen pukul. Dari sini, dimanakah yang dinamakan budaya idealis rasionalis tadi? Budaya intelektual, budaya calon guru, calon “pencerah” kehidupan masyarakat.

Bisa dibayangkan apabila calon “pencerahnya” seperti ini bagaimana generasi dibawahnya ?. Pasti akan lebih buruk dan kemungkinan bangsa ini akan berubah dari bangsa yang mempunyai budaya ramah, toleransi, menghargai orang lain menjadi bangsa yang kasar… bar-bar serta bahkan hanya budaya latah.


Dengan demikian, kita (mahasiswa) sudah seharusnya meneruskan perjuangan para pahlawan dan “founding father” yang bersusah payah membangun citra bangsa ini dengan rela berkorban baik jiwa, raga bahkan nyawa sehingga bangsa ini terbebas dari belenggu penjajahan.

Sekarang saatnya tugas kita untuk juga mau rela berkorban baik jiwa, raga bahkan nyawa sehingga bangsa ini bisa terus terbebas dari belenggu “penjajahan modern”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar