Michael Lowy[1]
Tahun berjalan, mode berganti, post-modernisme
menggantikan modernisme, kepemimpinan demokratis menggantikan kediktatoran, dan
tembok berlin jatuh ke bawah tembok kapital. Tapi tiga puluh tiga tahun
kemudian, pesan Che Guevara tetap
menjadi suluh bagi mereka yang percaya bahwa dunia yang lebih baik itu mungkin.
Ada sesuatu dalam hidup dari peninggalan dokter
Argentina/gerilyawan/revolusioner Cuba yang masih di bicarakan oleh generasi
penerus di tahun 1997. Siapa yang dapat menjelaskan menggunungnya jumlah
artikel, buku, film, debat tentang che ? Peringatan 30 tahun kematiannya
dilakukan dengan berbagai macam acara, Siapa yang tertarik pada 30 tahun
kematian Joseph Stalin ?
Seperti Jose Marti, Emiliano Zapata, Augusto Sandino,
Farabundo Marti, Camilo Tores, Che adalah salah satu pejuang yang tewas disaat
pertempuran, saat senjata masih dalam genggaman, dan seorang yang menjadi, selamanya,
benih yang di taburkan di tanah Amerika Latin, menjadi malaikat dalam surga
harapan dan keinginan, menjadi bara yang menyala dibawah abu ketidakpuasan dan
keresahan.
Di dalam setiap kebangkitan gerakan revolusioner di
Amerika Latin selama 30 tahun ini, mulai dari Argentina sampai Chili, dari
Nicaragua sampai El Savador, dari Guatemala sampai Mexico dan Chiapas, selalu
ada jejak dari “Guevarismo”, kadang jelas, kadang tidak. Tidak hanya dalam
pandangan kolektif mereka yang berjuang saja, tapi juga dalam perdebatan mereka
tentang metode, strategi, dan di setiap bibit-bibit perlawanan.
Bibit-bibit Guevarismo telah di semaikan selama 30
tahun terakhir, di tanah yang dipupuk oleh budaya politik kaum kiri Amerika
Latin. Sekarang bibit itu telah menjadi ranting, daun-daun, dan buah.
Jejak-jejak Che adalah satu benang merah dari mereka yang ada di Pantagonia
sampai Rio Grand, yang menenun mimpi-mimpinya.
Apakah ide-ide Che ketinggalan jaman ? Apakah mungkin
mentransformasikan atau merubah Amerika
Latin tanpa Revolusi ? Ini adalah teori dari beberapa teoritikus kiri Amerika
Latin ( yang menyebut dirinya ”realis”) berdasarkan pengalaman selama beberapa
tahun terakhir, yang dimulai oleh jurnalis dan penulis berbakat, Jorge
Castaneda dalam bukunya yang terkenal yang berjudul Melucuti Utopia (1993)
Hanya beberapa bulan setelah peluncuran bukunya,
negeri Castaneda, Mexico, terlihat uprising yang spektakular yang terjadi pada
penduduk asli, Chiapas, di bawah sebuah kepemimpinan sebuah organisasi utopis
bersenjata, EZLN, yang prinsip-prinsip pengorganisirannya berasal dari tradisi
Guevarist. Benar, sangat kontras dengan grup gerilyawan tradisional, Zapatista
atau EZLN, mengatakan bahwa kebutuhan obyektif mereka bukan mengambil alih
kekuasaan, tapi menyediakan inspirasi dan support untuk suatu organisasi dari
Mexican civil society, dengan tujuan utama perubahan besar dalam sistem politik
dan sosial negeri.
Namun, tanpa
uprising di Januari 1994, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista
(EZLN)-masih bersenjata dalam empat tahun kemudian-tidak akan menjadi poin
referensi dari neo-liberalisme, tidak hanya di Meksiko tapi juga di Amerika
Latin dan seluruh penjuru dunia. Zapatismo adalah campuran dari beberapa
tradisi subversif, tapi guevarismo adalah bumbu kunci di rebusan masakan dalam kebudayaan revolusioner yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam sebuah artikel di Newsweek, Castaneda mulai
bertanya apakah benar-benar mungkin untuk menggunakan metode non-revolusioner
untuk merebut kekuasaan dan kemakmuran dari tangan elit politik yang berkuasa
dan orang-orang kaya, dan merubah sturktur sosial yang sudah mengakar di
Amerika Latin. Jika bukti ini sangat susah untuk di temukan di akhir abad ke-21
ini, dia berkata nantinya dunia akan menyadari bahwa, “ Bagaimanpun, Che Guevara
memiliki sebuah poin”[2]
Politisi adalah Personal
Che bukan hanya seorang pejuang yang heroik, tapi
juga seorang pemikir revolusioner, dengan sebuah proyek politis dan moral
dan sebuah sistem dan nilai yang kerena
itu dia perjuangkan dan dia berikan hidupnya. Filosofi yang memberi dia pilihan
ideologi dan politik yang koheren, berwarna, bercita rasa, adalah sebuah
humanisme revolusioner yang sangat dalam. Untuk Che, Komunis sejati,
revolusioner sejati adalah seseorang yang merasa bahwa problem terbesar umat
manusia adalah problem dia juga, seseorang yang mampu merasakan kesedihan
ketika ada orang lain yang terbunuh, nggak peduli dia berada di belahan dunia
yang mana, dan merasakan kegembiraan ketika bendera kebebasan berkibar di
manapun.[3]
Internasionalisme-nya Che-sebuah jalan hidup, sebuah
kepercayaan sekuler, sebuah kategori imperatif, dan sebuah semangat
nasionalitas-adalah sesuatu ekspresi yang hidup dan nyata dari humanisme marxis revolusioner ini.
Che selalu mengutip perkataan Jose Marti bahwa “setiap
manusia seharusnya merasakan sakit diwajahnya ketika ada orang lain yang
mukanya di tampar”. Perjuangan untuk martabat ini adalah salah satu prinsip
etis yang menimbulkan inspirasi untuk semua tindakannya, mulai dari pertempuran
Santa Clara sampai perlawanan terakhir di pegunungan Bolivia. Apa yang disebut
Che, “bendera dari martabat manusia” masih menjadi term yang penting dalam
kebudayaan Amerika Latin. Itu semua pertamakali berasal bersumber dari Don
Quixote, sebuah karya yang dibaca Che di Sierra Maestra, yang di gumanakan
sebagai “literatur kelas” yang memberi dia rekruitmen gerilyawan petani, dan
sebuah kepahlawanan yang dengan itu dia identifikasikan melalui sebuah surat
kepada orang tuanya.
Nilai ini tidak asing bagi marxisme. Marx sendiri
menulis bahwa “proleteriat membutuhkan martabat sebagaimana kebutuhannya atas
roti”. ("Communism and the Rhine
Observer" - September 1847).
Pertimbangan pemikiran strategis-nya sering terbatasi
dengan ide gerilya foco (memperluas nucleus). Tapi ide-ide dia dalam revolusi
di Amerika Latin sangat mendalam. Di tahun 1967 dia mengatakan bahwa “Tidak ada
perubahan yang bisa di buat : baik itu revolusi soaial maupun revolusi yang
bersifat karikatif”. Akibatnya, Che membantu seluruh generasi revolusioner
untuk membebaskan dirinya dari penjara “Stagisme” yang berasal dari dogmanya
Stalinis. (Pesan untuk Konferensi Tricontinental, 1967).
Tentu, kia dapat menemukan dalam tulisannya-apakah
dalam pengalaman di Kuba atau di Amerika Latin-dan terlebih dalam episode
tragis di Bolivia, sebuah tendensi unutk meredusi revolusi ke perjuangan
bersentaja, perjuangan bersenjata ke perjuangan gerilya di pedesaan, perjuangan
gerilya itu sendiri yang dibentuk dalam Foco. Tendensi inilah yang mendominasi
secara subasequen tradisi guevarist di Amerika Latin.
Tapi kamu juga bisa menemukan bagian-bagian dalam
karyanya yang memberikan nuansa pada konsepsi gerilya-sebagai contoh dalam
bagaimana pentingnya kerja politik massa, atau dalam kekurangan dari perjuangan
bersenjata di negara yang ber-rezim demokratik.Tidak berarti penolakannya
terhadap pembunuhan atau terorisme buta.[4]
Peninggalan guevarist, yang ada dalam strategi grup
revolusioner Amerika Latin di 60-an sampai 80-an., masih bersama kita, sebagai
sebuah perasaan revolusioner dan perlawanan yang membaja dalam rangka unutk
mencapai bagian yang penting dari ideology kiri, dari gerakan sosialis seperti
Gerakan Buruh Tani di Brazil, unutk menyebut dirinya sendiri sebagai sosialis.
Sosialisme di Ameriak, tulis Jose Carlos Mariategui
di 1929, bukannlah sebuah jiplakan, tapi sebuh kreasi yang heroik. Inilah yang
dilakukan oleh Che Guevara, yang menolak menjiplak model-model yang “sudah ada”
dan mencari jalan baru unutk sosialisme, secara lebih radikal, lebih egaliter,
lebih bersifat persaudaraan, lebih humanis yang cocok dengan etika komunis
sejati.
Salam Persaudaraan untuk umat manusia
Ide
Che tentang sosialisme dan demokrasi masih berkembang sampai akhir hidupnya,
tapi dalam pidatonya dan tulisannya, tiap orang bisa melihat dengan jelas ketika
ia mengkritisi para pengikut Stalinis. Dalam pidatonya yang terkenal “pidato
Algeria” di bulan Februari 1965 ia mengajak negara-negara yang mengaku dirinya
sosialis untuk ”menarik diri dalam keterlibatannya dengan negara-negara barat
yang eksploitatif”. Ia menambahkan “Sosialisme takkan dapat terwujud jika tak
ada tranformasi kesadaran kita yang membimbing pada persaudaraan sesama umat
manusia”.
Dalam
essay bualan Maret 1965, “Sosialisme dan penduduk Kuba”, Che menganalisa
model-model pembangunan struktur sosialisme di Eropa Timur. Dengan persepsi
humanis revolusionernya, ia menolak konsepsi yang mengklaim “untuk menaklukan
kapitalisme dengan jimat-jimatnya dalam mencapai ilusi pembangunan sosialisme
lewat senjata warisan kapitalisme (komoditi-komoditi ekonomi, keuntungan,
tingkat peningkatan yang signifikan dan sebagainya), kita akan menemui jalan
buntu.
Menurut
Che, salah satu bahaya utama dari model yang diimport dari Uni Soviet adalah
ketidaksamaan pertumbuhan sosial dan bentuk-bentuk hak istimewa dari para
teknokrat dan birokrat, dalam sistem redistribusi ini,”managerlah yang untung,
kamu hanya butuh melihat proyek terakhir dari Republik Demokratik Jerman, hal
yang penting adalah, manajemen sang direktur, atau penghargaan yang diterimanya
dalam mengurus manajemen”.
Pemikiran
ekonomi Che, terutama dalam hal transisi sosialisme, sangat menarik dan
problematik. Menarik karena sifat egalitarian dan anti-birokrasinya, dan dalam
kritiknya tentang pemujaan komoditi-atau pasar-,termasuk pemujaan yang dilakukan
negara-negara yang mengaku “sosialis”.
Seorang
marxis Belgia dan pemimpin Internasional IV, Ernest Mandel sependapat dengan
Che dalam melawan pandangan para pengikut pemikiran ekonomi Stalin (spt Charles
Bettelheim) dan orang-orang Kuba yang meniru model ekonomi Soviet tahun
1963-64.
Tapi
pemikiran-pemikiran Che juga sangat problematis dalam beberapa hal. Tidak
seperti yang mereka katakan maupun sebaliknya. Khususnya diamnya Che
tentang sosial demokrasi. Argumentasi
Che tentang perencanaan ekonomi dan penolakan pasar tidaklah salah: sebaliknya
akan muncul kekuatan baru untuk melawan neo-liberalisme yang sekarang
mendominasi. Tapi pemikirannya tak meninggalkan jawaban terhadap pertanyaan
inti yaitu: Siapa yang merencanakan? Siapa yang mengambil keputusan penting
dalam semua perencanaan ekonomi? Siapa yang menentukan prioritas dalam produksi
dan konsumsi?
Perencanaan,
yang dalam hal ini tak terhindarkan, menjadi suatu bentuk otoritarian dan
sistem birokrasi yang tak efisien dari sebuah kediktatoran, kecuali disertai
dengan plurallisme politik, diskusi terbuka dan kebebasan untuk memilih
kebijakan ekonomi mana yang akan dipakai.
Sejarah
Uni Soviet membuktikan, dengan kata lain, problem-problem ekonomi pada masa
transisi menuju sosialisme tak dapat dipisahkan dan sangat bergantung pada
sistem politik
Pengalaman
Kuba 20 tahun lalu juga memperlihatkan pada kita tentang konsekwensi negatif
kurangnya lembaga-lembaga yang demokratis dan sosialis. Walaupun Kuba juga
dapat menghindari totalitarianisme dan perubahan bentuk-bentuk birokrasi
seperti yang ada di negara-negara yang mengaku sosialis sejati.
Polemik
Che terhadap pemujaan pasar memang benar, tapi argumen-argumennya akan lebih
meyakinkan jika dihadapkan pada konteks demokrasi oleh para pekerja dalam hal
mekanisme perencanaan. Seperti yang Ernest Mandel tekankan, ada jalan tengah
antara kebuntuan pasar di satu sisi dan perencanaan birokrasi ekonomi di sisi
lain: manajemen oleh pekerja sendiri, secara sentralis dan demokratis, dan
perencanan manajemen oleh himpunan para produsen.
Walaupun
Ia tak percaya dengan model dari Soviet dan komitmennya yang anti birokrasi,
dalam hal ini, ide-ide Che masih jauh dari kejelasan.
Che
mati pada tanggal 8 Oktober 1967: hari yang akan selalu diingat pada milenium tentang
penindasan terhadap kemanusiaan. Peluru-peluru membunuh lagi seorang pejuang
kemerdekaan, tapi takkan bisa membunuh semangat, harapan dan impiannya. Mereka
yang membunuh Che Guevara, Rosa Luxemburg, Emiliano Zapata, dan Leon Trotsky
sangat marah dan kecewa setelah melihat bahwa semangat juang para pahlawan itu
masih hidup dari generasi ke generasi yang memperjuangkan kemerdekaan.
Setelah runtuhnya tembok Berlin, dan berakhirnya rejim
otoriter di Eropa Timur, kemenangan ekspansi para kapitalis global, dan
hegemoni dari ideologi neo-liberalis, dunia sekarang terlihat sangat jauh dari kehidupan dan perjuangan Che. Tapi
bagi mereka yang tak percaya pada teori Hegel “akhir sebuah zaman”, atau
keabadian ekonomi liberal/kapitalis dan bagi mereka yang selalu melawan
ketidakadilan sosial dalam suatu sistem, pesan-pesan dan semangat humanis
revolusioner Che masih bisa dijadikan jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Michael
Löwy
Notes:
1)
Jorge Castaneda, "Rebels Without Causes", Newsweek, 13/1/1997
"We may discover, by the end of the century (...) that Che Guevara had a
point, after all".
2)
Che Guevara, Works, Volume III, Textes politiques, Paris, Maspero, 1968, p.118.
3)
See for example E. Guevara, Military Writings, Paris, Maspero, 1968, p. 162.
4)
Ibid. pp. 266-267.
5)
Che Guevara, "Socialism and Man in Cuba", Political Documents, p.
283.
6)
Che Guevara, "People and the Plan", Works, Volume VI, Unedited
Writings, Paris, Maspero, 1972, p.90.
7)
E. Mandel, "In defence of socialist planning", New Left Review, no.
159, Sept.-Oct. 1986.
18
June 1997.
[1] Penulis
adalah peneliti di lembaga penelitian dari Fourth International
[2] Jorge Castaneda, "Rebels Without
Causes", Newsweek, 13/1/1997 "We may discover, by the end of the
century (...) that Che Guevara had a point, after all".
[3] Che Guevara, Works, Volume III, Textes
politiques, Paris, Maspero, 1968, p.118.
[4] See for
example E. Guevara, Military Writings, Paris, Maspero, 1968, p. 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar