MADILOG
BAB II
F I L S A F A T
Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu
sekali kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana
pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita
tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik
permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan,
ya, ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para
ahli filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan
siapa yang benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi
kacau balau di mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing,
begitulah di mata kita para ahli filsafat berkata semau-maunya saja,
kalau tak ada pangkal tak ada ujung.
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar
dari kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal
sebagai co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam
filsafat banyak sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai
bapak Dialektis Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih,
nilai yang diterbitkan oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis.
Engels, pendiam, pembelakang, selalu berdiri di belakang kawannya Marx,
tetapi setia dan jujur, meneruskan mengarang “Das Kapital”, yang belum
habis ditinggalkan Marx, karena ia meninggal. Engels sendiri menulis
beberapa buku berhubung dengan filsafat “Anti Duhring” dan “Ludwig
Feurbach” sejarah dan ekonomi.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis “umumnya” memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu. Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis “umumnya” memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik. Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza, kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan
idealis, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume,
Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati
Heraklit, Demokrit dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di
masa revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu
didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis
setengah materialis.
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan “materialisme”
itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari kesenangan hidup
tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin dan cerai
sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung
tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih
memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai
menjaduhi kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang
benar, dalam kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa,
dengan seorang yang memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari
persangkaan itu, sedangkan dalam kalangan materialis banyak kita dapati
orang hidup dengan segala sederhana dan seperti suami dan bapak yang
setia.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat
memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan
atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang
sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana
yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan
pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis.
Yang mengikut materialisme, itulah yang materialis. Hidup segala
sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada memperdulikan kesehatan
diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu bergantung kepada watak
masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi
persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model
saja, kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan
bersangkutan. Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa
gambarkan semua ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.
“If I go into myself”, “kalau saya masuki diri saya sendiri”, kata
Hume, maka saya jumpai “bundles of conceptions”, bergulung-gulung
pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.
Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu
umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya
yang licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau
atau kuning itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di
telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume,
bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari
Hume. Semuanya bunyi, rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf,
nerve, berjalan ke pusat ke centre, ke otak.
Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian,
conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin.
Semua pengertian ini ” dalam” saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk
itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma “ide”, pikiran,
pengertian, tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan
pengertian “bundles of conceptions” kata Hume. Jeruk sebagai benda,
lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran,
pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau.
“Engkau” kata Hume, cuma “ide” buat saya.
Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan
saya buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma
gambaran buat Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang
dipandang dari pihak Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide
saja. Tak ada Hume itu buat Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat.
Yang ada cuma gambaran dalam otak Smith.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja,
membatalkan adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia
sendiri tak ada. Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme,
dengan membatalkan adanya benda, ia membatalkan dirinya sendiri.
Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction
dan menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar
yang pertama, tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri.
Dengan begitu ia sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.
Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi
barang yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai
bentuk baru, seperti Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada
bentuknya.
Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik
kembali bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak
berjalan terus jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata
Lenin, filsafat Kant tidak boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat
berkelahi. Menurut Kant, kita bisa ketahui dengan pancaindera kita
sesuatu benda, tetapi “Ding an Sich” benda sendirinya, kita tidak bisa
ketahui.
“Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga
lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum
materialis bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi
buat Kant itu belum cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan
bilang terus terang, bahwa benda itu buat dia tak ada, yang ada cuma
gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari rumput buat sembunyi dengan
memakai “Ding an Sich” benda itu sendiri.
Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari
ke sehari “Ding an Sich” itu, sudah menjadi “Ding an Furuns”. Benda yang
sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi
“benda kita”. Keterangan Engels tentang “Ding Fur Uns” itu dulu banyak
saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab Engels
yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai berikut:
“Air” umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita
seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui “zat
asalnya”, ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang
mana dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau
diraba atau diminum. Berapa beratnya 1 L. Apa gunanya buat kita, buat
tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb. Apa juga lagi yang mesti di
“Ding an Sich”kan tentang air, nenek moyang kita cuma mengetahui 4 zat
saja di alam ini ialah :tanah, air, api, udara. Sekarang sudah diketahui
92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah boleh kita periksa dengan
pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin, seperti microoskop,
telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan kuman, beratus
ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali. Perkakas yang dari
tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah kepastiannya dan
kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada satu sama
lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya buat
kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan
membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan
dengan lebih besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara
berpikir dan perkakas kita makin banyak, makin baik.
Dimana lagi “Ding an Sich” itu tempatnya, pada zaman, di mana alam
yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan
dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi “Sing fur Uns”, yakni benda
kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia
memakai Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada
bandingnya selama ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis,
sesudah meninggalkan gurunya, Hegel, dilekati Hegelisme.
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan
synthesis di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau
mata si pemandang.
Buat Hegel “absolute Idee” ialah, yang membikin benda “Realitat”. “Die absolute Idee macht die Gesichte” absolute idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee “deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist” yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah “verwieklichung” penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala, Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau
ia memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari
semua yang lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas
dari makanan, ya, lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau
beruntung seperti Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan
Rohani yang mengisi Alam ini.
Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan
Marx, mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu
banyak memberi alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah
Feurbach melemparkan Dialektika sebagian besar disebabkan hidup
terpencil, seolah-olah terbuang dari pergaulan, maka hasil
pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel dianggap oleh kaum
materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung yang
membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang
positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis.
Kaum Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika,
tetapi membuang Idealisme Hegel.
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai
pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme),
akhirnya memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini
dianggap berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai
mana mestinya. Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan
pergaulan yang menentukan pikiran.
“Negara kata”, kata Marx “ialah satu akuan dan hasil dari perjuangan
klas”. Perjuangan klaslah yang menjadi “Motive-Force”, kodrat pergerakan
sejarah masyarakat, kodrat mengubah bentuk Negara, jadi bukanlah
“Absolute Idee”, seperti kata Hegel. Zaman berbudak bertukar menjadi
Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu sesudah Revolusi Perancis
pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam pandangan sekarang.
Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman Berbudak, ialah
pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan Ningrat dan
Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman
Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan
klas yang berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat
buat menumpu masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu
tingkat ke tingkat yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke
masyarakat berdasar keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi
pertentangan itu bukan pertentangan ide saja, seperti menurut paham
Hegel – nanti akan diteruskan – tetapi pertentangan barang yang nyata,
pertentangan antara dua klas besar yang berjuang, yang sekarang terus
berjuang.
Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu,
berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik.
Tehnik yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada
zaman ini dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat
adanya perjuangan klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang
menjalankan peranan dalam sejarah kita manusia ini adalah barang yang
nyata semuanya. Peranan sejarah itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan
oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga sejarah tumbuhan-hewan-manusia,
bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang
tarik menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan
manusia bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah
sejarahnya masyarakat manusia bersejarah menurut undangnya
Historisch-Materialisme (Sejarah Materialisme), yang juga dinamai
Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika
Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum
yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum
proletar yang revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi,
sudah tentu ada bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme
yang memang revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra
revolusioner terhadap kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat
berlindungnya kaum reaksioner seperti kata Marx: “Dalam bentuknya yang
reaksioner, Hegelisme menjadi adat, sebab bentuk ini menerjemahkan
keadaan yang ada”.
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama
ada kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada
satu pihak, mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap
dan tertindas, pada lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat
meninabobokan kaum pekerja, supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang
matanya seperti mata burung merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak
berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang
memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik
seperti Amerika, maka lahirlah idealisme berupa “pragmatisme” yang
dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai
“the biggest of all”, semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan
“objective truth”, hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau
diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa “objective truth”, tadi
bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika “the
country of the free”, negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John
Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik
permulaan berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai
sebelum perang ini kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal
tadi, sudah menyusuli kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah
bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh
dengan anak bininya, “obyective truth” tadi, tidaklah begitu
“obyective”, tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi
ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak
milik turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan
penghidupan kaum proletar Amerika sekarang.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum
perang 1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu
tiadalah berani keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar
sendiri masuk bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme,
tetapi pada dasarnya terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya:
“Empiris-Critism” dengan terang dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum
ahli filsafat atas dua partai, seperti pertama kali dikemukakan oleh
Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan partai materialis. Dengan
sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh Empiris-Critism,
Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme yang
sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan
Marxisten di Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih
besar dalam ilmu filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat
Materialis ini akhirnya menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di
Rusia dan memaksa dia bekerja diam-diam. Dialektis Materialisme ialah
Ilmu Pemandangan Dunia, “Weltanschauung” yang resmi, opisil di Sovyet
Rusia.
Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa
ini idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan
pakaian baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan
syndikalisme dari Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi,
seperti ilmu yang dipeluk oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson,
Spengler dan Nietsche (yang belakang ini ialah satu filosoof
krachtpatser, siapa kuat, siapa raja, Ubermensch) inilah yang dipeluk
oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme dianjurkan oleh pemikir
Geovani Gentile.
“Facisme”, kata pemikir ini “bukanlah New System, tata filsafat yang
baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru”. “Manusia” katanya pada
hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu dalam “ewige Bewegung der
Selbstverwirklichung”, pergerakan kekal buat berpaduan.
Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama
sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis
liberal kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian
tak berpengalaman, tetapi terutama juga “sangsi” sebab negara Italia,
kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa
Barat dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak,
kalau dipandang dari kaca-mata idealisme. “aksi-baru dan paham-baru”
katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar
dengan pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar –
kapitalis model baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku “18th
Brumaire of Louise Bonaparte”, tentang aksi dan paham Louise Bonaparte
di Perancis, maka aksi dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru
dari aksi dan paham tua. Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik
oleh Napoleon Besar “ommpya” dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan
Napoleon, yang katanya orang Italia itu.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa
penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak
mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca “pergerakan kekal buat
perpaduan manusia dan Tuhan” menurut filsafat fasis itu, kita ditarik
lagi ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan
percobaan Gautama Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk
ke Nirwana. Cuma Gautama Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat
dan “kastor-olie” buat mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti,
pemimpin sosialis Italia, musuh besar Mussolini yang hilang lenyap
selama-lamanya buat melakukan “paduan dengan Tuhan itu” dengan lekas.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang
sebenarnya dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang
tinggi seperti Hegelis dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis
materialisme (orang mesti makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels),
tetapi filsafat itu adalah bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan
bayangan Absolute Idee seperti kata Hegel.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah
“semua ini”. Ahli filsafat bertanya: “semuanya ini, bumi, langit dan
pikiran itu sendiri, apakah artinya?” Lama-lama persoalan “semua ini”
cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang
sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang
sementara boleh dikatakan sempurna.
Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah,
Geology, yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula.
Perkara yang berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam.
Perkara yang berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga
mendapatkan sifat baru, termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya
memeluk Ilmu Kimia, sekarang menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik,
yang sekarang karena besar daerahnya dan dalam artinya mesti dipelajari
sendirinya.
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan
atas hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu
Hidupnya asal dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula
pada Biology, satu Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali
mengandung arti buat kita. Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan
otak dan Pikiran dari otak binatang sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan
perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang
mempelajari Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak
bisa berpisah dari Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula
seorang Insinyur, jatuh dan berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.
Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan
pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa
dipecah-pecah lagi, terpaksa di-”specialiceer” lagi, terpaksa
dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada
berkenaan bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa
dan memperdalam perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah
pecah menjadi kedokteran umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak
dsb. Adalah bahaya buat Science, kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang
sudah banyak itu) akan pecah terus, dengan tidak lagi mengetahui
perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat
buat menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat
sekarang diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan
Ilmu bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan
perhubungannya. Dengan begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin
kehilangan hutan, karena sangat memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang
kecil-kecil saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering
diartikan oleh perkataan filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh
ahli filsafat purbakala, yang dengan memangku tangan dan tafakur,
bertanyakan: “Apakah artinya Alam dan apakah artinya pikiran itu?”
Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu Filsafat tadi, maka kita
lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari Hakekat dilekati oleh
Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari
hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui (dijeruki) dan
dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada
zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan “Jasmani dan
Rohani”, badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan
psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa “the working of the mind”
kerjanya otak. Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh si pemikir di atas
kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan ke
laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa,
diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan,
perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa,
diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan
manusia. Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov
di Rusia dan experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman
yang berharga dan masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan
diuji oleh Ilmu yang muda tetapi sangat menarik hati. “Ketahuilah dirimu
sendiri “. Inilah sari persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang
terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas “the
working of the mind”, kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke
laboratorium bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment,
pengalaman.
Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.
Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah
Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada
bermacam-macam Ilmu Alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat
Indonesia.
Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis :
Die Phylosophen haben die Welt nur verschienden interpretiert. Es komt
aber daraufan die Welt zu veraendern. Para ahli filsafat sudah memberi
bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar
(merubah) dunia itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar