Pelajaran-Pelajaran dari Revolusi (yang gagal) 1968[1]
Revolusi Perancis di tahun 1968 dimulai pada bulan
desember 1967 dengan pemogokan delapan sekolah tinggi/lanjutan (setingkat SLTA)
untuk mensupport sebuah demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang
memotong anggaran jaminan sosial. Aksi tersebut diiukuti oleh sekolah-sekolah
lainnya di bulan Januari 1968, mereka (para demonstran), di aksi lanjutan ini,
melakukan protes atas dikeluarkannya para aktivis dari sekolah.
Para siswa yang dikeluarkan
adalah anggota dari the Jeunesses Communistes Revolutionnaires (JCR), sebuah
organisasi pemuda sosialis revolusioner yang bergabung dengan Internasionale
ke Empat.
JCR, yang mengadakan
konferensi yang di hadirir 120 aktivis kampus dan sekolahan di bulan april
1966, adalah sebuah kekuatan politik sentral dalam radikalisasi di kalangan
mahasiswa dan pelajar (selanjutnya disebut studen) Perancis.
Radikalisasi ini dipenuhi
dengan membesarnya perasaan tidak puas atas sistem pendidikan yang ada.
Dalam tahun-tahu setelah
Perang Dunia II, ada perkembangan yang cukup mencolok dari mahasiswa yang ada
di Universitas-universitas di Perancis : dari 123.000 di tahun 1946 menjadi
514.000 ditahun 1968. Dalam buku
Revolusi Perancis 1968 yang diterbitkan di tahun yang sama, jurnalis koran London
Observer Patrick Seale dan Maureen McConville menjelaskan konsekuensi dari hal
tersebut :
“Jumlah tekanan yang besar
(the sheer persure of number) menghapuskan segalanya. Dibawah beban,
universitas-universitas, dan terutama sekali Sorbonne, mengubah karakter
mereka dari klub kecil yang elitis menjadi inefisien, pabrik yang jorok dari
pendidikan, dimana semuanya dikorbankan untuk problem kecil yang melibatkan
semua orang…”
Ketika kondisi ini menjadi
basis untuk pembesaran dari ketidakpuasan, ada sikap oposisi terhadap perang
yang dilakukan imperialis untuk melawan revolusi vietnam, yang mana hal
tersebut merubah ketidakpuasan-ketidakpuasan menjadi sebuah radikalisasi yang
massif melawan masyarakat borjuis sebagai kesatuan.
Seale dan McConville
memberikan penjelasan yang sangat gamblang atas peranan Gerakan Anti Perang
Vietnam dalam perkembangan aktivitas politik para studen. Mereka menulis :
“Salah satu dari
pemangdangan yang mengejutkan dari Revolusi mai adalah ketika para studen
meriakkan slogan : KEKUASAAN ADA DI JALANAN BUKAN DI PARLEMEN ! Ini adalah
sebuah fenomena yang membuat pemerintahan barat (western) menggigil : ini
semua adalah sebuah penolakan atas institusi-institusi politik yang sangat
elitis dan nilai-nilai yang di tanamkan oleh orang tua mereka…”
“Dari bulan desember 1966,
serombongan Comites Vietnam lyceens (CVLs) – komite sekolah untuk Vietnam-dibentuk
di Perancis. Mereka adalah bagian kecil dari kelompok ( yang ) berselisisih
dengan organisasi sekolahan Partai
Komunis Perancis (CPF)…karena mereka berpendapat kebijakan CPF atas Vietnam
sangat jinak atau moderat sekali…”
Partai Komunis (selanjutnya
kita sebut CP), seperti Partai Stalinis lainnya di dunia, berpihak pada sikap
“perdamaian” yang abstrak atau negosiasi, dari pada menyuruh para imperialis untuk minggat dan
membiarkan penduduk Vietnam untutk menentukan nasibya sendiri.
Seale and McConville
menuliskan bahwa CVLs telah diinisiasi dan di gabungkan kedalam Committee
Vietnam National (CVN) :
Pada musim gugur tahun 1966,
JCR dan sekutu-sekutunya, seperti beberapa “Castrois”, the Parti
Socialiste Unifie (PSU), dan sebuah kelompok sayap kiri yang melepaskan diri
dari grup sosialis, membentuk sebuah organisasi front Vietnam yang bertujuan
untuk mendapatkan opini publik yang lebih besar. Organisasi tersebut bernama
Committee Vietnam National (CVN)…beberapa (a litter) komite CVN tumbuh di
sekolah dan, meskipun beroposisi dengan kepala sekolah, mereka mampu
membuktikan kesuksesan-nya dalam pemobilisasian massa. Karena hal tersebutlah
kubu politik sayap kiri memutuskan untuk memobilisasi mereka dalam setiap
aksi-aksi politik.
Dari komite-komite sekolah
untuk Vietnam itulah CALs (semacam serikat pelajar radikal) terbentuk. “CVLs”, dijelaskan oleh Seale dan Mconville,”
menyediakan infrastruktur bagi pembangunan CALs, dari protest mengenai Vietnam
menjadi aksi-aksi terhadap persoalan-persoalan yang ada di Perancis secara
spesifik”.
Berikut penjelasan dari proses
ini :
“Serikat Buruh Perancis,
UNEF (serikat mahasiswa nasional)
dan serikat pelajar mengadakan aksi mogok pada 13 Desember 1967. Aksi ini
dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan
sosial. Yang mengejutkan dalam aksi ini adalah bergabungnya hampir separo
penduduk kota Paris…Di bulan Januari 1968, Roman Goupil-seorang pelajar yang
masih berumur 16 tahun- yang mengorganisir aksi di Lycee Condorcet, dikeluarkan dari sekolah dengan alasan dia telah menghasut
kawan-kawannya agar meninggalkan kelas dan bergabung dalam aksi..para pemimpin
dari CVLs berdiskusi melalui telepon dan membahas rencana mereka selanjutnya
untuk menyikapi kasus ini. Mereka
memutuskan untuk mengadakan aksi, ratusan
massa berpartisipasi dalam aksi tersebut dan meriakkan yel-yel tuntutan
tentang kekebasan dalam berekspresi (Freedom of expression in the lycees),
yang tampaknya yel-yel tersebut sangat mudah untuk dipahami seperti yang
diyakini oleh para pemimpin komite…”
Tanggal 22 Maret 1968 polisi
menangkap lima orang aktivis anti-perang setelah peristiwa pemboman Bank
Amerika di Paris. Dan di siang yang sama ratusan mahasiswa menduduki gedung
admisnistrasi di Nanterre untuk memprotes penahanan tersebut. Kemudian Dekan
merespon itu semua dengan menghentikan semua kegiatan perkuliahan. Semenjak
kejadian itu tiada hari tanpa aksi dan demonstrasi di Nanterre.
Sebuah kampanye untuk
memboikot ujian di luncurkan. Tanggal 2 dan 3 mei direncanakan sebagai “Hari
Studi Anti-Imperialis” di Nanterre. Sekali lagi, penguasa kampus mengalami
kepanikan dan akhirnya mereka menutp kampus.
Tanggal 3 mei, para mahasiswa
di Sorbonne dan CALs di beberapa sekolah atas di Paris menyatakan
solidaritasnya atas kejadian yang menimpa kawan-kawan mereka di Nanterre. Dan
di sore yang sama ratusan mahasiswa dan pelajar yang melakukan demonstrasi
harus berlarian untuk menghindari tindakan brutal dari polisi.
Seale dan McConville menulis :
“ Pertempuran jalanan di 3
mei, yang mengikuti invasi dari polisi ke Sorbonne, mengakibatkan effek yang
sangat hebat bagi orang-orang muda. Kegiatan di kelas-kelas menjadi terhenti
karena para pemuda itu ingin mendiskusikan situasi yang sedang terjadi,
kemudian mereka mulai menggabungkan diri dengan demonstrasi-demonstrasi yang
ada, walaupun banyak juga yang terluka setelah berpartisipasi dalam demo-demo
tersebut. Tanggal 10 May CALs mengadakan aksi mogok serentak seharian penuh di
Paris. Aksi ini diikuti kurang lebih 8-9 ribu partisipan, mereka berjalan
untuk menemui senior mereka yang sudah lebih dudlu melakukan aksi besar dan
berakhir pada barikade…”
“Setelah Sorbonne diduduki,
CALs mengambil alih Grand Amphitheathre untuk rapat umum di 19 mei. Dan
setelah pertemuan tersebut mereka memutuskan untuk mengadakan aksi mogok
serentak dan menduduki sekolah-sekolah. Hari selanjuttnya gerakan ini diikuti
dengan massa yang lebih besar lagi, guru-guru mulai bergabung dan menghabiskan
malam-malam mereka bersama-sama dengan para demonstran. Komite-komite juga
mengdakan diskusi-diskusi yang tidak
hanya membahas tentang problem sekolah dan kampus saja tapi juga membahas
permasalahan-permasalahan politik, dengan topik-topik seperti perjuangan
studen di eropa, aturan-aturan kampus di masyarakat, jarinan buruh-studen, dll…”
Hasil yang sama juga
didapatkan oleh para pemimpin-pemimpin mempunyai ploitical advanced di kampus
selama pendudkan itu.
Tapi sebagaimana Seale dan
McConville berkomentar di bukunya :
“Para buruh tidak bergabung
dengan aksi protes nasional yang dilakukan oleh studen, meskipun kejadian mei
mempunyai effek yang sangat signifikan bagi ledakan-ledakan studen di Berlin,
Roma atau Buemos Aires. Benar-benar situasi yang sangat kontradiktif…dimana
para studen memberikan sesuatu yang dicontoh secara cepat oleh kawan-kawan
mereka di lain negara, membawa krisis ini ke level yang lebih tinggi. Akan
tetapi para pekerja tetap dengan tenang bekerja dan menunci gerbang mereka
rapat-rapat…”
Di tanggal 7 mei, 30.000
menduduki jalan-jalan di kota Paris selama lima jam penuh, menuntut agar
kampus dibuka kembali dan para aktivis yang ditahan di bebaskan.
Sebuah pelajaran bagi massa
aksi berhasil dipetik di tanggal 9 mei di daerah Latin Quarter, daerah sekitar
Sorbonne. Ketika itu massa memaksa untuk bertahan sampai besok, jumat 10 mei,
dan kejadian itu menjadi terkenal dengan sebutan malam barikade-barikade
(night of barricades) ketika 35.000 demonstran merusak barikade dan terjadi
perang batu dengan CRS (polisi anti huru-hara perancis).
Sekitar 400 studen masuk rumah
sakit. Dan banyak lainnya yang terluka akibat tindakan CRS. Meskipun begitu,
para studen tidak kalah. Masyarakat mengecam tindakan brutal polis-yang
ditayangkan oleh stasiun televisi- dan mendesak pemerintah untuk memenuhi
tuntutan studen.
Tanggal 11 mei, para pemimpin
buruh dari tiga konfederasi serikat buruh merespon opni publik yang sedang
berkembang atas tindakan represif yang dilakukan polisi, dan mereka
merencanakan aksi mogok nasional selam 24 jam penuh yang akan diadakan pada
hari senin tanggal 13 mei.
Di hari itu sekitar satu juta
buruh dan studen berjalan menuju kota Paris. Kontingen studen secara eksplisit
menyatakan unutk mengakhiri kepemimpinan rezim semi bonarpatis Charlesde
Gaulle sambil menyanyikan lagu “sepuluh hari sudah cukup”. Bendera
Tricolore diturunkan dari gedung-gedung pemerintahan dan diganti dengan
bendera MERAH. Akan tetapi aksi di 13 mei ini tidak direspon lebih lanjut oleh
para aristokrat-aristokrat serikat buruh dan mereka pun kecuali perintah unutk
membubarkan diri.
Bagaimanapun, aksi para
pekerja tersbut telah membesarkan hati para studen, dan sekita 20-25 ribu
buruh bertemu dan memutuskan untuk bergabung dengan para studen dan menguasi
Sorbonne.
Tanggal 14 mei para pekerja
kembali ke pabriknya masing-masing, tapi mereka kembali dengan rasa percaya
terhadap kekuatan dari mobilisasi massa. Kejadian ini terutama sekali dialami
para buruh-buruh muda, yang banyak dari mereka telah bergabung dalam aksi
protes studen mulai tanggal 3-10 dan ikut bertempur bersama studen di malam
barikade.
Secara spontan, para pekerja
mulai mengambil alih pabrik. Di 14 mei para pekerja pabrik SudAviation di
Nanterre mengunci manajern di ruang kerjanya dan menyatakan mereka telah
mengambil alih pabrik.
Dihari yang sama, para pekerja
pabrik Renault meninggalkan peralatannya dan mendeklarasikan perebutan pabrik.
Besoknya mogok menjalar ke dua pabrik renault l;ainnya dan sorenya pabrik
tersbesar renault di Parisian suburban dari Biliancout tidak bisa menjalankan
prose produksi karena 30 ribu pekerjanya melakukan aksi mogok.
Dari kejadian tersebut, aksi
mogok terjadi di hampir seluruh daerah di peranci. Sebagaimana yang dikatakan
seorang buruh mudsa renault : “Para studen memulai kereta berjalan, dan kita
berterima kasih. Ketika kita melihat kereta berhenti dan akan mulai berjalan
lagi, kami mulai berelompatan unutuk naik “
Dalam waktu seminggu aksi
mogok ini telah melibatkan 10 juta dari 15 juta pekerja yang ada di Perancis.
Perlawanan massa studen
berperan sebagai sebuah detonator dalam sebuah pemberontakan massif para
pekerja. Tapi sebuah detonator tidak akan bekerja kecuali ada bahan yang
berpotensi sebagai bahan peledak. Apakah bahan yang berpotensial sebagai bahan
peledak itu ?
Ketika negara-nerga industri
kapitalis mempunyai pengalaman sedikitnya selama dua dekade dari pemtumbuhan
ekonomi yang berlangsung secara pesat, kesenjangan sosialpun semakin lebar.
Sebanyak satu juta orang dan hampir separo dari penduduk Perancis yang
mempunyai pendapatan, dibayar dengan upah yang sangat rendah yang mana
pendapatan tersbut hanya mencapai satu level diatas level subsistence.
Selain itu, di 1968 lebih dari
satu juta orang tidak mempunyai perkerjaan atau menganggur, kesemuanya itu
memukul perasaan buruh-buruh muda. Di Burgundi, sebagai contoh kecil, 25 %
pemuda di bawah usia 25 th menjadi pengangguran.
Hak berserikat di
pabrik-pabrik diabaikan. Satu-sarunya jalan untuk mengekspresikan
ketidakpuasan adalah melalui aksi-aksi massa. Tahun 1967, di pabrik renault di
Le Mann dan Caen terjadi perang batu dengan polisi selama terjadi pemogokan.
Sebagaimana diamati oleh Seale
dan Mc Convile : “ Para pekerja menolak untuk mengadakan negosiasi, dan
menggunakan cara-cara yang lebih keras. Ini berarti sebuah upaya pengambil
alihan…”
Ketika mengambil metode aksi
massa, para pekerja menggerakkan sebuah revolusi sosial yang masih yang mana
mereka mempunyai potensi revolusioner yang jernih.
Ini semua adalah hasil dari
fomat-format yang dibikin oleh komite-komite aksi massa yang ada di Paris.
Mereka tidak hanya bermunculan di sekolah-sekolah, universitas-universitas,
kantor-kantor pemerintahana, asosiasi profesional, dan tempat-tempat kerja,
tapi juga di daerah-daera pemukiman.
Menurut Seale dan Mc Conville,
“ Apayang menjadi gam,baran umum mereka…adalah sebuah ide tentang revolusi
yang harus kamu lakukan sendiri, tanpa harus meninggalkan yang lainnya. Itu
semua adalah keingnan untuk terpimpin dalam aksi-aksi ekstraparlementer “
Gerakan ini mencapai
puncaknnya di minggu terakhir di
bulan mei, ketika terdapat sekitar 450 komite yang ada di Paris (belum daerah
lainnya). Bagaimanapu, mereka tetap terlokalisir dan hanya kehilangan
koordinasi di kota-kota yang mempunyai basis besar.
Di luar paris perkembangan
yang sama juga terjadi. Yang paliang bagus adalaha apa yang terjadi di Nantes,
utara Brittany di 23 mei. Sebuah komite sentrak pemogokan- yang terdiri dari
serikat buruh, petani dan sruden-mengadakan aksi di balai kota, dan
mendeklarasikan dirinya sebagai penguaa baru kota praja tersebut.
Dan di gedung-gedung sentral
pemerintahan, terutama di kota paris, sudah ditinggalkan oleh para penghuninya,
hanya ada para penjaga pintu dan polisi yang kekuatannya sangat kecil.
Atas perkembangan ini, Sean
dan Mc Conville menulis: “ Pemogokan yang terjadi di Nantes berubah dari
yang awalnya sebuah aksi protes menjadi aksi revolusi. Disana muncul
embrio-embrio pengganti institusi tua masyarakat borjuis, yang mana itu semua
diparalelkan dengan aksi mogok…”
Selama seminggu, dari 24-30
mei, pemerintahan De Gaulle mengalami kegoncangan yang cukup hebat. Akan tetai
sayangnya CP dan pemimpin-pemimpin serikat buruh menolak untuk melakukan
penggantian-atau sebuah insureksi-pemerintahan.
Dan yang lebih parah lagi,
ketika 10 juta perkerja sedang menjalankan aksi mogo, para
aristokrat-aristokrat serikat buruh ini menolak rancangan diadakannnya sebuah
aksi mogok nasional.Mereka membatasi diri hanya pada tuntutan ekonomis seperti
kenaikan upah, jam kerja yang lebih pendek, dll. Bahkan mereka bekerja sama
dengan rezim De Gaulle dengan mengatakan studen-studen yang radikal sebagai
provokator.
Di 29 mei, CP dan pemimpin
federasi serikat buruh (CGT) membuat aksi sejuta massa di jalan-jalan kota
Paris dimana, untuk pertama kalinya, pemimpin-pemimpin Stalinis mengikuti
slogan-slogan politik yang ada. Mereka juga berada di barisan yang sama dengan
para demonstran yang menuntut sebuah Pemerintahan Rakyat.
Dan di saat-saat terakhir,
para bangsawan-bangsawan CGT itu memerintahkan massa unutk membubarkan diri.
Nggak ada lagi rally, nggak ada lagi speakers…
Malam itu De Gaulle
berkonsultasi dengan para jendralnya. Sebuah rencana telah berhasil disusun,
dan para tentara yang paling loyal kepadanya telah di mobilisasi. Markas besar
oprasi militer mengambil tempat di Verdun. Besoknya pada pukul 04.30 pm,
muncul di televisi dengan mengabarkan bahwa pertemuan nasional yang terjadi
tidak berhasil menghasilkan solusi dan menawarkan pemilu unutk memilih anggota
parlemen di tanggal 23 Juni.
Melihat hal itu,
birokrat-birokrat CP meneriwa dengan antusias tawaran dari De Gaulle. Seminggu
sebelum pemilihan,mereka (CP) brlomba-lomba dengan kubu Gaullis dan dengan
yakin mengatakan bahwa mereka lah penguasa baru Perancis. Seminggu setelah
pidato De Gaulle, para pekerja mencapai kata sepakat dengan para bangsawan
seikat buruh. Dan pada pemilu, para pendukung De Gaulle meningkatkan support
mereka terhadap pimpinannya.
Dari pertengahan mei sampai
pertengahan jni 1968, Perancis di cengkeram oleh pemberontakan buruh yang
hebat di dalam sejarahnya, tapi sayangnya semua itu harus di akhiri dengan
pemilu yang malah memperkuat Partai-partai yang berkuasa, Banyak orang-orang
kiri revolusioner menjuluki CPF sebagai pengkhianat. Tapi bagaimana sebenarnya
birokrat-birokrat CPF bisa melakuakan pengkhianatan dan dari 10 juta massa
yang ada hanya sedikit yang mengambil sikap oposisi ?
Inilah pelajaran yang berharga
dari mei-juni 1968. Ketika kelas pekerja Perancis ambil bagian dalam aksi,
dimana (peranan kelas pekerja itu) menjadi sebuah potensi dinamis revolusioner
bagi mereka (kelas pekerja), tapi mayoritas kelas pekerja Perancis tidak mampu
secara cepat untuk melewati batasan antara tuntutan-tuntutan mendesak yang
bersifat ekonomis dan perubahan masyarakat secara radikal.
Ada kesenjangan kesadaran
revolusiner (lack of revolutionary consciousness) di antara mayoritas kelas
pekerja, dan mampu dimanfaatkan oleh bangsawan-bangsawan serikat buruh
reformis untuk di giring ke ilusi pemilu parlementer.
Revolusi-dalam skala dan militansi yang hebat- sebagai
mana di ekspresikan oleh Lenin di tahun 1902 dalam pamplet Apa yang harus
dikerjakan :” Sejarah semua negeri menunjukkan bahwa kelas pekerja, dengan
kemampuan yang mereka miliki, mampu unutk mengembangkan kesadaran serikat
buruh…”
Kesadaran sosialis
revolusioner, sebagaimana ditekankan oleh Lenin, hanya dapat dipasokkan ke
kelas pekerja dari luar, ketika terjadi perlawanan spontan antara
kelas pekerja dengan pemerintah, melalui ideologi yang membaja dan kerja-kerja
organisasi dari sbeuah Part Marxis Revolusioner.
Kekuatan marxis revolusioner
Perancis di Mei-Juni 1968 hany berjumlah sekitar 300-400 orang. Mereka tidak
punya kekuatan unutk menantang hegemoni ideologis yang dilakukuan para pemimpin
buruh reformis.
Daniel Bensaid, dulunya adalah
salah seorang pimpinan JCR dan sekarang menjadi anggota pimpinan dari Ligue
Communiste Revolutionnare, juga mengungkapkan hal yang sama. Dia mengatakan :
“ Beberapa orang mungkin
mengatakan bahwa itu (kejadian di mei-juni’68) adalah aksi mogok besar
terkhir di abad ke sembilanbelas ini. Tapi mungkin juga menjadi aksi mogok
besar pertama di abad ke-21. Kita tidak tahu dan itu semua tergantung pada apa
yang kita lakukan saat ini…”
“…kelas pekerja telah di
format sedemikian rupa selama bertahun-tahun oleh kemakmuran dan expansi dari
welfarestate, seperti hak-hak yang demokratis. Tahun 1968 bukanlah sebuah
krisi revolusiner seperti di 1920an, 1930an..”
“Ya, memang terdapat sebuah gerakan yang mendalam dari kelas
pekerja yang mampu mengguncang borjuasi, tapi tidak terdapat faktor subyektif,
tidak ada kepemimpinan revolusioner yang mengakar di kelas pekerja. Kekuatan
dari birokrasi membuat kita harus melakukan sesuatu dengan tingkat kesadaran
mayoritas massa kelas pekerja. Kita dapat melihatnya sekarang lebih baik..”
Sebagaiman disimpulkan oleh
Bensaid,” Ada sebuah usaha untuk mendepolitisasi interpretasi atas kejadian tahun
1968. Kita harus mempertahankan makna politis yang sebenarnya dan dinamisasi
di tahun 1968, tidak hanya merayakannya tapi juga haru mampu memberikan ari
yang politis..”
Bagi kita sekarang, itu semua
berarti melakuakn rededikasi diri kita untuk memperkuat kekuatan revolusioner
yang sadar di negeri ini agar kita dapat mempersiapkan sceara lebih baik
transformasi gerakan spontan kelas pekerja, yang mana mampu mengguncang para
kapitalis, ke dalam sebuah perlawanan revolusioner untuk kekuasaan kelas
pekerja dan sosialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar